Tidak heran, Teguh Ostenrik mengaku senang bekerja di rumah. Kepada KOMPAS.com, Teguh juga menyatakan jika ada lebih banyak pekerja di Jakarta yang tidak perlu meninggalkan rumahnya untuk bekerja, maka kemacetan bisa jauh berkurang.
Perbincangan dengan Teguh tidak hanya berhenti di sana. Selepas menyantap semangkuk Brenebon hangat, sembari menikmati siang, Sang Maestro berbicara mengenai bermacam hal di rumahnya. Mulai dari kemacetan Jakarta, warna, ide, hingga tubuh manusia, dan religiositas.
Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003, Teguh mulai membangun rumah yang diberi nama Rumah 3 Dharma di Jalan Tridarma Utama III. Sejak berdiri, rumah tersebut sudah menjadi tempat Teguh menggodok karya-karyanya.
Rumah terbuka
Rumah milik Teguh dan isterinya, Mira, tersebut memiliki konsep terbuka. Tidak hanya area kegiatan keluarga, seperti ruang makan dan dapur, kamar mandi pun dibiarkan terbuka. Hanya sekat dan jalan berliku yang menghalangi pandangan. Keterbukaan ini cocok dengan iklim tropis yang relatif panas dan lembab. Selain itu, ternyata ada maksud lain dalam pembuatannya.
"Pintu terbuka di kamar mandi itu juga untuk memudahkan evakuasi. Penderita serangan stroke hanya memiliki waktu enam jam pasca serangan. Umumnya, penderita meninggal karena telat diselamatkan. Dia terkunci di dalam kamar mandi. Kalau terbuka kan mudah," ujar Teguh. Dia juga sempat mengungkapkan, "Saya tidak takut mati, tapi takut sakit."
Berbeda dari pandangan umum yang menyatakan bahwa rumah hanya bisa menjadi tempat istirahat, Teguh bersikeras bahwa rumah juga seharusnya bisa menjadi tempat berkarya dan bekerja. Menurut Teguh, di sanalah kemajuan teknologi berperan.
Ada pula satu hal menarik yang sempat disampaikan oleh Teguh. Menurutnya, siapa pun, termasuk pelukis dan pekerja seni lainnya tidak perlu merasa terintimidasi dengan adanya kemajuan teknologi. "Jangan hanya horny pada kehebatan teknologi, tapi bagaimana menggunakannya!" ujar Teguh.
Teguh juga menyatakan, dalam 20 tahun mendatang, hal-hal praktis memang akan diambil alih oleh teknologi dan mesin. Namun, hal-hal yang berhubungan dengan seni, dan tindakan-tindakan "otak kanan" masih akan dikuasai oleh manusia. Maka itu, para seniman tidak perlu berkecil hati. "Kalau ada seniman yang takut dengan teknologi, karena nggak bisa gambar," ujarnya sembari tertawa.
Inspirasi ada di mana-mana
Meski rumahnya mampu menjadi sumber inspirasi, pada dasarnya Teguh yakin bahwa inspirasi bisa berasal dari mana saja. "Sumber ide tidak lebih jauh dari radius 30 meter tubuh kita," tegasnya. Selain itu, inspirasi bisa datang dengan terus menerus mencoba, dan tidak takut melakukan kesalahan. "Setiap orang seharusnya belajar dari kesalahan. "Buatlah jutaan kesalahan, tapi jangan ulangi kesalahan yang sama," imbuhnya.
Teguh yakin, ide dan inspirasi tidak turun begitu saja dari langit. Seseorang harus mencarinya, dan melakukan observasi mendetil. Lekuk tubuh manusia, bahkan lipatan baju mampu diolah Teguh menjadi karya seni, baik itu lukisan maupun patung. Hal ini bisa dilakukannya semata-mata karena melakukan observasi. Kebiasaan memperhatikan dengan detil juga mampu mewujudkan rumah persis seperti keinginan Teguh. Lewat pemandangan yang bisa diintip menempus pintu-pintu terbuka dan jendela dalam sudut tertentu, Teguh merasa mampu melihat rumahnya seolah "berpuisi".
Hanya satu kekurangan rumahnya, menurut Teguh sendiri. Sebagai seorang pelukis, Teguh merasa membutuhkan lebih banyak dinding untuk memajang karyanya. Sayang sekali, rumah berkonsep terbuka miliknya justeru menyulitkan jika ingin digunakan sebagai ruang memajang karya seni.