KOMPAS.com - Sepintas rumah ini mirip sebuah labirin. Ada banyak celah untuk bersembunyi. Uniknya, di saat yang sama, rumah ini juga menawarkan keterbukaan karena minim dinding.
Nyaris, memang, tak ada dinding. Beberapa ruang, seperti dapur dan bahkan kamar mandi dibiarkan terbuka begitu saja. Minimnya dinding ini memberikan beberapa keuntungan, misalnya, membuat penghuni rumah masih bisa saling berinteraksi satu sama lain dari kedua ujung rumah, meski hanya lewat gestur dan tatapan.
Kendati demikian, bisingnya suara motor tak terdengar di rumah ini. Hanya suara adzan yang sesekali menyelinap masuk di antara dinding-dinding kayu dan beton rumah ini.
Tanah miring
Suasana syahdu itulah yang akan langsung terasa begitu menginjakkan kaki di "Bilik 3 Dharma", rumah sekaligus studio milik pelukis dan pematung Teguh Ostenrik di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Lokasinya tidak seberapa jauh dari ingar-bingar ibukota. Namun, sekali kaki Anda menginjak rumah ini, suasananya sangat berbeda, seperti pada kunjungan KOMPAS.com ke kediaman sang seniman itu, Rabu (12/2/2013) siang.
Sinar matahari yang biasanya sembunyi di balik awan, bersinar begitu terik. Lalu lintas pun seperti biasa, tak terlalu bersahabat. Namun, keadaan di dalam Bilik 3 Dharma ini bertolak 180 derajat.
Teguh dan isterinya, Mira, dengan santai menyambut kedatangan kami. Mereka pun mengaku tidak begitu tahu keadaan lalu-lintas jalanan Jakarta.
"Saya tidak pernah lihat macet Jakarta. Kalau sudah dengar macet di Radio Elshinta atau Sonora, saya tawar saja meeting pakai Skype," ujar Teguh sambil tertawa.
Tak heran, Teguh enggan meninggalkan rumahnya yang terbilang unik ini. Rumah tersebut berada di atas tanah miring seluas 700 m2. Perbedaan ketinggian ini membuat Teguh mengambil keputusan untuk membuat "halaman buatan" dengan menempatkan tanah dan rumput di atas permukaan hasil coran.
Ada empat volume utama di rumahnya. Volume pertama merupakan area pintu masuk. Keluar dari volume tersebut, di kiri dan kanan terdapat dua bangunan lain.
Bangunan di kiri tampak lebih moderen dari bentuk limasan yang ada di kanan. Sementara itu, tepat di luar area pintu masuk terdapat halaman yang dipenuhi dengan rumput hijau. Di bawah halaman tersebut terdapat kamar tidur dan kamar mandi.
Bangunan di kiri digunakan untuk beberapa keperluan. Lantai dasarnya dibiarkan terbuka dan digunakan hanya sebagai ruang makan. Di atasnya terdapat studio yang bisa digunakan oleh Teguh untuk melukis atau digunakan oleh anak-anaknya untuk memotret.
Di studio tersebut juga terdapat kamar mandi dan level mezanin yang digunakan sebagai kamar tidur. Tak ada pintu yang menutup ruangan-ruangan ini. Dari lantai bawah, siapa pun bisa melenggang masuk hingga ke level mezain.
Sementara itu, di kanan terdapat limasan. Menurut Teguh, meski rumahnya baru dibangun sepuluh tahun lalu, atau sekitar tahun 2003, Limasan yang ada di rumahnya sudah berasal dari tahun 1949. Menembus limasan yang digunakan sebagai studio tersebut, Anda bisa mengunjungi dapur berkonsep terbuka. Dapur dan area limasan dipisahkan dengan kolam kecil.
Terbuka untuk keamanan
Fitur paling menarik dari rumah milik Teguh ini adalah keterbukaannya. Minimnya dinding tersebut memiliki fungsi sampingan. Selain membuat interior rumah terasa sejuk, Teguh menceritakan, kamar mandi yang tidak memiliki pintu juga ada hubungannya dengan keamanan.
"Tidak adanya pintu di kamar mandi fungsinya untuk memudahkan evakuasi," ujar Teguh.
Menurutnya, di usia yang menginjak 60 tahun, kemungkinan stroke terus mengancam. Sudah banyak kasus stroke tidak tertolong, bukan semata-mata karena penyakitnya, namun karena tidak tertolong selama 6 jam. Penderita mendapat serangan di kamar mandi terkunci dan tidak ada yang bisa masuk ke dalam.
Keterbukaan di kamar mandi juga memberikan keasyikan tersendiri. Mira, istri Teguh, menceritakan bahwa mandi di kala hujan bisa menjadi pengalaman menarik. Perputaran udara juga lebih baik, dan kamar mandi terhindar dari jamur. Hanya saja, keterbukaan ini ternyata juga sedikit disesali oleh Teguh.
"Satu-satunya kesalahan yang saya buat dalam membangun rumah ini adalah saya kurang membangun dinding. Padahal, saya pelukis," ujarnya.
Hingga saat ini, ada begitu banyak lukisan karya Teguh yang terpaksa disimpan atau disandarkan bertumpuk-tumpuk di dinding.
Pemilihan material
Satu lagi yang membuat rumah milik Teguh Ostenrik terasa nyaman adalah pemilihan materialnya. Teguh menggunakan beton ekspos untuk sebagian besar lantai interior rumah.
Di bagian eksterior, teguh menggunakan lantai dari batu-batu kecil. Beton ekspos yang dipoles terasa dingin ketika bersentuhan dengan telapak kaki. Sensasi berbeda, yang tidak kalah nyaman, datang dari lantai batu-batuan kecil.
Sekadar jalan bolak-balik mengelilingi rumah, atau berkarya di dalam studio, masing-masing memberikan sensai berbeda yang menginspirasi. Tidak heran, Teguh senang bekerja di rumah. Lebih sejuk dan sangat tenang, itulah alasannya.