Menurut Wakil Ketua Umum DPP REI, Djoko Slamet Utomo, fenomena "nakal"nya pengembang itu tercipta karena masyarakat juga tidak paham.
"Saya kebetulan juga konsumen. Coba tengok Undang-Undang Rusun Nomor 20 tahun 2011. Itu ada sesuatu, yang kalau tidak hati-hati, pada saat bangunan rusak suatu hari nanti harus dihancurkan. Itu belum ada Peraturan Pemerintah-nya. Kalau tinggal di rumah tapak, sudah biasa. Kalau di rusun kan repot. Nanti masyarakatnya bagaimana, pengembangnya juga bagaimana?," paparnya kepada Kompas.com, Minggu (2/2/2014).
Lantas, mengapa REI tidak melakukan pembinaan bagi masyarakat, khususnya calon konsumen properti?
"Kami terkendala waktu. Tapi, apa pun yang terjadi kami ingin mengoreksi. Terkadang ada konsumen yang tidak paham," jelasnya.
Dengan banyaknya kasus yang menyeret para pengembang, asosiasi kena tuduh dari masyarakat bahwa mereka tidak mampu menertibkan anggotanya. Padahal, aku Djoko, asosiasi sudah menyiapkan kode etik bagi para anggota.
Secara pribadi, Djoko menyampaikan permohonan maafnya jika ada anggota REI, tanpa menyebut nama, yang telah merugikan masyakat. Namun, dia juga menekankan bahwa perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan para pengembang. Pasalnya, masyarakat sebagai konsumen pun seringkali tidak paham dengan kegiatan belanja properti yang mereka lakukan.
"Kita perlu ada koreksi internal. Kalau menjual harus benar. Kami ingin properti dihuni, sekarang malah jadi investasi. Saya hanya bisa mengarahkan saja, selain bisa memberikan untung, bagaimana juga menghuninya," keluhnya.