Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan hal tersebut kepada Kompas.com, Senin (13/1/2014) terkait banjir yang berulang kembali terjadi.
"Pengembang punya pengaruh terhadap perubahan bentang alam di wilayah DKI Jakarta. Hal ini terjadi lantaran mereka membangun proyek seringkali tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Bahkan tak jarang, pengembang membangun tanpa disertai izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), kendati perizinan lainnya telah dipenuhi," ujar Yayat.
Walhasil, kata Yayat, terjadi konversi besar-besaran terhadap ruang kota yang tadinya merupakan ruang terbuka hijau menjadi hutan beton.
Sayangnya, perubahan bentang alam yang menyalahi aturan dan terjadi secara dramatis ini tidak disertai dengan sanksi atau penindakan tegas dari Pemda DKI Jakarta.
"Apakah pengembang yang diberikan izin membangun itu dalam pelaksanaan pembangunannya mengalokasikan ruang-ruang terbuka hijau atau sumur resapan untuk menampung air hujan dan luapan air lainnya. Saya yakin tidak semua melakukan itu, dan Pemda DKI Jakarta tidak ada kontrol terhadap pengembang yang abai aturan," imbuh Yayat.
Untuk diketahui, syarat wajib yang harus dipenuhi pengembang dalam membangun properti, baik perumahan maupun komersial sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) yakni pengembang wajib menyediakan sumur resapan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Hitung saja, berapa pengembang yang sudah menerapkan Perda tersebut? Saya yakin Kepala Dinas Perumahan tidak memiliki data itu," cetus Yayat.
Jika pengembang lalai, kata Yayat, harus diberi sanksi tegas oleh Pemda DKI Jakarta dengan mencabut izin usaha dan tidak direkomendasikan melakukan bisnis apa pun di seluruh wilayah DKI Jakarta.