Vice Presiden Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, mengungkapkan hal tersebut kepada Kompas.com, Selasa (17/12/2013). Menurutnya, saat ini tengah dilakukan proses preliminary pencarian pendanaan.
"Kami terbuka terhadap berbagai opsi, apakah nanti akan mengambil skema Bangun-Guna-Serah (Built-Operate-Transfer/BOT) atau Kerjasama Operasi, atau lainnya. Kami mencari opsi terbaik dari berbagai pilihan tersebut," papar Ali.
Pertamina Energy Tower disorot publik karena merupakan megaproyek sarat dana, tenaga kerja dan juga prestise. Jika telah dibangun, maka Jakarta akan sejajar dengan kota-kota lainnya di dunia yang sudah lebih dulu memiliki supertall. Sebut saja Kuala Lumpur dengan Twin Tower Petronas, dan Taipei dengan Taipei 101 (Baca: Pertamina Energy Tower, Nomor 9 Tertinggi di Dunia!).
Pertamina Energy Tower juga dianggap sebagai representasi dari milestone Pertamina menjadi Champion Company pada 2025 mendatang. Di sinilah tali kelangsungan bisnis dikendalikan, sekaligus sebagai rumah bagi 23.000 karyawan dan anak-anak usaha Pertamina. Sebaliknya, bila tidak terwujud, maka Jakarta untuk kesekian kalinya menambah catatan kegagalan megaproyek sebelumnya.
Untuk diketahui, pada 1995 atau 3 tahun sebelum krisis moneter, Jakarta pernah punya mimpi membangun Menara Jakarta setinggi 558 meter. Namun, mimpi tersebut terantuk masalah pendanaan. Pendanaan inilah yang menjadi kendala klasik, bahkan cenderung klise, yang bisa membuat megaproyek sekelas Pertamina Energy Tower hanya tinggal mimpi.
Menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, pendanaan adalah hal paling krusial dalam pembangunan supertall. Baca: Setinggi 530 Meter, Inilah Tampilan Pertamina Energy Tower....
"Bayangkan untuk memiliki sebuah office tower yang ikonik dan supertall, perusahaan harus melakukan akuisisi lahan, menyiapkan biaya konstruksi dan biaya fit out. Semuanya merupakan biaya yang harus dikeluarkan di awal. Belum lagi biaya arsitek dan konsultan lainnya sehingga cashflow awal sangat besar," jelas Hendra.
Untuk menyiasati masalah cashflow besar ini, Hendra menyarankan, Pertamina harus bekerja sama dengan investor. Sebaliknya, bila tak ada masalah cashflow, dengan biaya sendiri akan lebih bagus dan akan lebih cepat dalam pengambilan keputusan segala sesuatunya.
"Memiliki gedung sendiri memang lebih baik buat Pertamina untuk tujuan jangka panjang dibandingkan menyewa. Hanya, butuh dana lebih dari Rp 7 triliun untuk membangun gedung setinggi di atas 500 meter dengan luas lebih dari 450.000 meter," tandas Hendra.
Sekadar contoh, lanjut Hendra, untuk membangun gedung perkantoran seluas 100.000 meter persegi saat ini dibutuhkan dana tak kurang dari Rp 1,5 triliun dengan kurs Dolar AS masih Rp 9.500. Dalam kondisi berbeda seperti ini, saat Rupiah terpuruk, dana yang dibutuhkan bisa membengkak lebih dari empat kali lipat.
Namun demikian, Ali mengaku tetap optimistis, Pertamina mampu mewujudkan Pertamina Energy Tower. Proses preliminary terus dikebut dan diharapkan akan terpilih opsi terbaik awal tahun depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.