Terakhir, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz pernah menjanjikan, bahwa pemerintah bakal memfinalisasi pembahasan soal tabungan perumahan rakyat (tapera) usai perhelatan APEC, Oktober 2013. Namun, hingga menjelang tutup tahun, tak terlihat tanda-tanda selesai hasilnya.
"Setelah APEC kami melakukan penyelesaian antara DPR RI dalam rapat koordinasi," kata dia ditemui di sela-sela rapat kerja dengan Komisi V DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2013) silam.
"Problemnya 2,5 persen dari pekerja untuk PNS mengakibatkan APBN nambah, karena harus menambah 2,5 persen untuk PNS, itu dikaji Menkeu," ujarnya.
Ditambah lagi, lanjut Djan Faridz, pemerintah harus menyediakan Rp 12 triliun, untuk modal kerja Rp 2 triliun dan investasi tanah Rp 10 triliun. Menurut dia, permintaan DPR RI tersebut cukup krusial, sehingga harus dikoordinasikan dalam rapat.
Bahkan, terkait upaya mematangkan RUU Tapera, Pansus penyusunan RUU Tapera sengaja mendatangkan perwakilan dari Singapura. Mereka diminta mempresentasikan sistem yang sudah diaplikasikan di sana.
Memang, Singapura terbilang sukses. Singapura memiliki Tapera sejak 1960 dan sudah membiayai 95 persen rumah rakyat.
Namun, perlu diingat, Singapura tak serta merta mencetak kesuksesan tersebut. Ketika negara itu memulainya, nilai Tapera hanya 50 persen, termasuk asuransi. Namun, seiring manfaat yang didapat, apalagi terkait realisasi perumahan rakyat, jumlah rumah yang dapat dibiayai Tapera terus meningkat.
Bisa dikatakan, nilai Tapera di Singapura bisa maksimal karena ada kontribusi sebesar 16 persen hingga 22 persen dari pendapatan (income). Berbeda dengan Indonesia, kontribusi pendapatan hanya sebesar lima persen sehingga sulit merealisasikan nilai Tapera yang maksimal.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat, dan DPR belum satu suara soal penentuan besaran iuran yang akan diambil dari penghasilan pekerja. Kedua pihak punya argumentasi masing-masing yang mengakibatkan belum menemui titik temu dan mengarah pada kompromi.
Tak hanya soal besaran iuran Tapera. Hal lain lebih mendasar diperdebatkan adalah subyek sasaran Tapera. DPR ingin Tapera berlaku untuk seluruh pekerja dengan alasan Undang-undang mengikat seluruh Warga Negara. Sementara itu, pemerintah hanya menyertakan pekerja yang mendapat penghasilan dari negara, melalui BUMN, APBN, dan APBD. Swasta tidak disertakan dengan pertimbangan pemerintah tidak mengatur mereka.
Berdasarkan catatan Kompas.com, Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung pernah mengatakan bahwa, jika pekerja swasta dilibatkan akan membebani pengusaha. Namun begitu, secara jangka panjang, jika pekerja swasta disertakan akan sangat membantu mereka.
Contohnya sederhana. Jika buruh memiliki rumah, artinya UMP yang sekarang mereka terima, sebagian bisa digunakan untuk mencicil rumah. Selama ini, yang terjadi justru untuk menyewa rumah.
"Jadi, uangnya itu tidak hilang. UMP-nya bisa lebih baik. Tidak harus naik tiap tahun kalau mereka sudah memiliki rumah sendiri. Nah, cicilannya disesuaikan dengan gaji. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu, pemerintah melalui Tapera akan membangun rumah susun sewa," terangnya di Tangerang, Jumat (31/5/2013) silam.
Rasanya, untuk urusan yang satu ini, Indonesia memang masih berkutat pada alasan-alasan normatif. Terbukti, sampai hari ini, RUU Tapera masih jalan di tempat. Bahkan, akan kembali menjadi salah satu "pekerjaan rumah" Kemenpera yang perlu diselesaikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.