Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemilikan Properti Asing di tengah Sulitnya Rumah Murah....

Kompas.com - 17/12/2013, 11:46 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com - Tahun ini kepemilikan properti oleh asing masih menjadi polemik yang belum juga berujung pada satu keputusan. Banyak pihak menyatakan perlu segera direalisasikan demi mengisi pundu-pundi pendapatan dari pajak, sementara di pihak lain merasa khawatir.

Mantan Ketua Umum DPP REI 2007-2010, Teguh Satria, misalnya, menyatakan kepemilikan WNA atas properti Indonesia berpotensi menambah pendapatan pajak sebesar Rp 24 triliun. Nilai pendapatan pajak ini diperoleh dari hasil pengalian harga rumah minimum untuk WNA sebesar 500.000 dollar AS yang terjual sebanyak 10.000 unit per tahun dengan pajak properti 40 persen yang terdiri atas komponen PPN 10 persen, PPH 5 persen, PPHTB 5 persen, dan Pajak Penjualan Barang Mewah 20 persen.

"Jumlah pendapatan pajak sebesar itu bisa digunakan membangun rumah subsidi dan rumah rakyat sekaligus mengatasi backlog. Kita tahu, anggaran Kementerian Negara Perumahan Rakyat hanya Rp 4 miliar, tidak cukup untuk membangun 16,5 juta kekurangan rumah," ujar Teguh.

Pertanyaannya, apa semudah itu bisa memetik hasilnya? Bagaimana dengan sikap Pemerintah?

Pengamat properti dari Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan, tanpa harus beragumen mengenai besarnya penerimaan pajak negara, akan lebih bijaksana bila seluruh lapisan masyarakat melihat juga timbulnya dampak jika kepemilikan asing dibuka tanpa adanya sistem yang membatasi. Ali khawatir, bukan hanya kerugian materi, melainkan juga kerugian sosial yang tidak terkendali.

Menurut Ali, ada beberapa alasan kepemilikan asing harus diterapkan secara hati-hati di Indonesia, antara lain:

www.shutterstock.com Mengapa negara Indonesia sampai saat ini tidak terjadi bubble properti ? Hal paling membedakan dengan negara lain yang rentan terjadi bubble adalah negara-negara yang menerapkan dibukanya kran kepemilikan asing di negaranya.
Bubble properti

Mengapa negara Indonesia sampai saat ini tidak terjadi bubble properti ? Hal paling membedakan dengan negara lain yang rentan terjadi bubble adalah negara-negara yang menerapkan dibukanya kran kepemilikan asing di negaranya.

"Ketika kepemilikan asing dibuka, maka patokan harga pasar yang terjadi adalah patokan regional dan bukan patokan berdasarkan pasar lokal. Bila terjadi krisis di negara asing, maka harga properti tersebut akan crash, jatuh di bawah harga pasar yang ada sebelumnya. Itulah yang disebut bubble properti," ujar Ali.

Ali mengatakan, berbeda dengan di Indonesia, meskipun harga properti naik, namun yang terjadi tetap mempertimbangkan pasar lokal sehingga ketika harga menyentuh terlalu tinggi, pasar akan mulai mencapai keseimbangan baru di pasar lokal, bukan pasar regional. Ia mengakui, beberapa pihak memang mencoba meyakinkan bahwa kepemilikan asing tidak akan berdampak pada kenaikan harga tanah.

"Tapi, siapa yang dapat menjamin. Dengan pertumbuhan sangat pesat saat ini, harga-harga tanah terdongrak. Tanah-tanah yang tadinya bisa dibangun untuk perumahan menengah bawah menjadi semakin tinggi. Itu juga yang membuat para pengembang rumah murah teriak untuk mengusulkan adanya kenaikan harga rumah batasan dari pemerintah untuk rumah program FLPP," ujar Ali.

www.shutterstock.com selama belum ada mekanisme yang jelas mengatur mengenai subsidi untuk rumah murah melalui penerimaan pajak tersebut, hasil yang diterima tidak akan secara langsung diterima masyarakat menengah bawah. Untuk itulah, dibukanya kran kepemilikan asing seharusnya diikuti dengan sistem batasan yang ada.
Siapa penikmat pajaknya?

Dengan dibukanya kepemilikan asing, negara memang akan memperoleh penerimaan yang besar. Namun, Ali mengingatkan, selama belum ada mekanisme yang jelas mengatur mengenai subsidi untuk rumah murah melalui penerimaan pajak tersebut, hasil yang diterima tidak akan secara langsung diterima masyarakat menengah bawah. Untuk itulah, dibukanya kran kepemilikan asing seharusnya diikuti dengan sistem batasan yang ada.

"Supaya tidak hanya menguntungkan kaum pengusaha besar saja. Negara-negara tetangga telah membuka kepemilikan asing, Indonesia belum juga menerapkan kepemilikan asing. Terus masalahnya dimana. Kita kan tidak harus mengikuti sistem perumahan negara lain mengingat sistem perumahan nasional kita saat ini masih amburadul," ujar Ali.

Ali menolah jika Indonesia perlu disamakan dengan Singapura dan Malaysia. Indonesia sangat berbeda dengan kedua negara tetangga itu, karena keduanya telah lebih baik mengelola dan mengendalikan harga tanahnya. Karena itulah, lanjut Ali, pemerintah harus dapat bijaksana menerapkan kepemilikan asing, yaitu bila Pemerintah Indonesia telah siap dengan sistem perumahan nasional yang baik.

"Sebut saja, bank tanah yang seharusnya dapat meredam aksi spekulasi akibat mekanisme pasar yang ada. Dengan adanya bank tanah, maka tanah-tanah untuk penyediaan rumah murah bisa diproteksi. Dengan masuknya pembelian properti asing pun, selama ada bank tanah, maka sistem perumahan nasional untuk rumah murah tetap bisa berjalan, karena pemerintah bisa mematok harga tanah yang ada, sehingga tidak ikut dalam mekanisme pasar," tegas Ali.

Proteksi rumah murah

Ali menegaskan, pemerintah harus mempertimbangkan matang-matang jika ingin menerapkan kepemilikan asing. Pasalnya, masih banyak masyarakat belum mempunyai rumah.

"Adalah bijaksana bila pemerintah melakukan proteksi untuk perumahan murah sebelum berpikir dibukanya kepemilikan asing. Ini agar maksud dan tujuannya semakin bermanfaat. Karenanya, ketika pemerintah telah siap dengan sistem perumahan nasional yang baik, barulah kita bisa berpikir lebih jauh lagi," ujar Ali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com