Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/12/2013, 17:39 WIB
M Latief

Penulis

KOMPAS.com - RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memang terlihat belum rampung lantaran masih ada perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR, terutama terkait perbedaan besaran iuran. Padahal, sebelumnya Panitia Khusus DPR untuk penyusunan RUU Tapera menargetkan tuntas pada Juli 2013 lalu. Nyatanya, urusan ini masih juga molor.

Terakhir, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz pernah menjanjikan, bahwa pemerintah bakal memfinalisasi pembahasan soal tabungan perumahan rakyat (tapera) usai perhelatan APEC, Oktober 2013. Namun, hingga menjelang tutup tahun, tak terlihat tanda-tanda selesai hasilnya.

"Setelah APEC kami melakukan penyelesaian antara DPR RI dalam rapat koordinasi," kata dia ditemui di sela-sela rapat kerja dengan Komisi V DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2013) silam.

savills Patterson Hill, Singapura.
Sebagaimana diketahui pembahasan Tapera cukup alot lantaran bakal menyedot anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). DPR mengusulkan pembiayaan Tapera dipotong dari gaji PNS dan non PNS sebesar 5 persen, yang setengahnya ditanggung oleh pemberi kerja. Artinya, Tapera yang bakal dibeli oleh para abdi negara itu akan dibiayai sebagian oleh APBN.

"Problemnya 2,5 persen dari pekerja untuk PNS mengakibatkan APBN nambah, karena harus menambah 2,5 persen untuk PNS, itu dikaji Menkeu," ujarnya.

Ditambah lagi, lanjut Djan Faridz, pemerintah harus menyediakan Rp 12 triliun, untuk modal kerja Rp 2 triliun dan investasi tanah Rp 10 triliun. Menurut dia, permintaan DPR RI tersebut cukup krusial, sehingga harus dikoordinasikan dalam rapat.

Bahkan, terkait upaya mematangkan RUU Tapera, Pansus penyusunan RUU Tapera sengaja mendatangkan perwakilan dari Singapura. Mereka diminta mempresentasikan sistem yang sudah diaplikasikan di sana.

Memang, Singapura terbilang sukses. Singapura memiliki Tapera sejak 1960 dan sudah membiayai 95 persen rumah rakyat.

Namun, perlu diingat, Singapura tak serta merta mencetak kesuksesan tersebut. Ketika negara itu memulainya, nilai Tapera hanya 50 persen, termasuk asuransi. Namun, seiring manfaat yang didapat, apalagi terkait realisasi perumahan rakyat, jumlah rumah yang dapat dibiayai Tapera terus meningkat.

Bisa dikatakan, nilai Tapera di Singapura bisa maksimal karena ada kontribusi sebesar 16 persen hingga 22 persen dari pendapatan (income). Berbeda dengan Indonesia, kontribusi pendapatan hanya sebesar lima persen sehingga sulit merealisasikan nilai Tapera yang maksimal.

www.shutterstock.com Sejatinya, RUU Tapera ini sangat penting sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan hunian rakyat. Namun, apa boleh buat, DPR dan pemerintah masih gagal mencapai kata sepakat.
"Pekerjaan rumah"

Sejatinya, RUU Tapera ini sangat penting sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan hunian rakyat. Namun, apa boleh buat, DPR dan pemerintah masih gagal mencapai kata sepakat.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat, dan DPR belum satu suara soal penentuan besaran iuran yang akan diambil dari penghasilan pekerja. Kedua pihak punya argumentasi masing-masing yang mengakibatkan belum menemui titik temu dan mengarah pada kompromi.

Tak hanya soal besaran iuran Tapera. Hal lain lebih mendasar diperdebatkan adalah subyek sasaran Tapera. DPR ingin Tapera berlaku untuk seluruh pekerja dengan alasan Undang-undang mengikat seluruh Warga Negara. Sementara itu, pemerintah hanya menyertakan pekerja yang mendapat penghasilan dari negara, melalui BUMN, APBN, dan APBD. Swasta tidak disertakan dengan pertimbangan pemerintah tidak mengatur mereka.

Berdasarkan catatan Kompas.com, Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung pernah mengatakan bahwa, jika pekerja swasta dilibatkan akan membebani pengusaha. Namun begitu, secara jangka panjang, jika pekerja swasta disertakan akan sangat membantu mereka.

Contohnya sederhana. Jika buruh memiliki rumah, artinya UMP yang sekarang mereka terima, sebagian bisa digunakan untuk mencicil rumah. Selama ini, yang terjadi justru untuk menyewa rumah.

"Jadi, uangnya itu tidak hilang. UMP-nya bisa lebih baik. Tidak harus naik tiap tahun kalau mereka sudah memiliki rumah sendiri. Nah, cicilannya disesuaikan dengan gaji. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu, pemerintah melalui Tapera akan membangun rumah susun sewa," terangnya di Tangerang, Jumat (31/5/2013) silam.

Rasanya, untuk urusan yang satu ini, Indonesia memang masih berkutat pada alasan-alasan normatif. Terbukti, sampai hari ini, RUU Tapera masih jalan di tempat. Bahkan, akan kembali menjadi salah satu "pekerjaan rumah" Kemenpera yang perlu diselesaikan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com