Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 31/10/2013, 11:48 WIB
Penulis Latief
|
EditorLatief
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat ekonomi Reza Priambada mengatakan, industri baja nasional masih melemah. Hal tersebut terjadi akibat belum pulihnya kondisi pasar baja di luar negeri.

"Harganya terus menurut sehingga ini berpengaruh terhadap pasar di dalam negeri," ujar Reza kepada Kompas.com di Jakarta, Kamis (31/10/2013).

Harga baja dunia saat ini turun 8 persen menjadi 600 dolar AS per ton pada September 2013, dibanding bulan sebelumnya sebesar 605 dolar AS per ton. Analis Trust Securities itu mengatakan, harga baja masih akan tertekan, seiring kelebihan kapasitas yang sangat kronis di China sebagai negara industri baja terbesar dunia.

Menurut data Middle East Steel, lembaga riset baja Timur Tengah, harga baja canai panas (hot rolled coil/HRC) yang selama ini menjadi acuan belum mampu menembus 700 dolar AS per ton. Padahal, harga tersebut merupakan harga tertinggi dalam setahun terakhir.

Sebelumnya kepada Antara, Ketua Umum Ikatan Pabrik Paku dan Kawat Indonesia (Ippaki) Ario N Setiantoro menilai, kejatuhan harga baja di pasar global menekan harga baja domestik. Ini diperparah dengan derasnya arus impor produk baja hulu dan hilir.

"Harga produk hilir seperti paku dan kawat cenderung turun dibanding tahun lalu. Saat ini, harga paku berkisar Rp 9.000-9.500 per kilogram (kg), sedangkan kawat Rp 7.500-9.000 per kg," ujar Ario di Jakarta, Selasa (29/10/2013) lalu.

Menurut Ario, permintaan baja di pasar domestik sebenarnya masih tinggi, yang didorong oleh geliat proyek infrastruktur dan properti Tanah Air. Namun demikian, produsen baja lokal tidak bisa sepenuhnya menikmati lonjakan permintaan karena harus bersaing dengan produk impor dengan harga lebih murah, terutama dari China.

Berdasarkan riset Macquarie, bank investasi yang berkantor pusat di Australia, sebanyak 86 produsen baja Tiongkok yang tergabung dalam China Iron & Steel Asscociation (CISA) membukukan kerugian sebesar 113 juta dolar AS hingga Juni tahun ini.

Bahkan, Arcelor Mittal, produsen baja terbesar dunia ini yang beroperasi di Eropa, melaporkan kerugian sebesar 1,1 miliar dolar AS selama semester I-2013. Hal ini dipicu tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) yang rendah.

Mcquarie menilai, dalam 3-5 tahun ke depan, harga baja masih tertekan. Sementara itu, pasokan bahan baku utama, iron ore pellet, diprediksi turnbuh, namun masih di bawah harapan para pelaku industri baja.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+