JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembang menganggap kebijakan Bank Indonesia (BI) berupa pelarangan pengucuran Kredit Pemilikan Rumah (
KPR) Inden untuk pembelian rumah selain rumah pertama, berpotensi mematikan bisnis mereka.
Demikian rangkuman suara
pengembang yang disampaikan Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso, dan Wakil Ketua DPP REI Bidang Rumah Sederhana Tapak Preadi Ekarto kepada
Kompas.com, di Jakarta, Rabu (18/9/2013).
Setyo Maharso dengan gamblang menyatakan, bila kemudian BI kembali melakukan pengetatat, maka tujuan semula untuk mengerem laju pertumbuhan properti malah kontraproduktif. Apalagi selama ini transaksi didominasi melalui KPR.
"Kami takut hal ini justru akan mematikan usaha para pengembang karena kami sudah terpukul oleh kenaikan harga bahan bangunan, upah tukang, pajak dan lain-lain," jelasnya.
Para pengembang selama ini memanfaatkan
KPR Inden para konsumen untuk mendanai pembangunan properti. Pasalnya, sejak 1998, Kredit Konstruksi sudah tidak lagi tersedia, kecuali untuk rumah bersubsidi. "Kalau BI mau mengeluarkan KPR Inden, tolong berikan Kredit Konstruksi. Selama ini BTN memberikan, itu pun dalam jumlah kecil," ujar Setyo.
Preadi Ekarto tak menampik pernyataan Setyo. Menurutnya, ada kebiasaan yang berlaku di sektor perumahan sederhana tapak. Biasanya, untuk mengejar ketinggalan, pada bulan-bulan November, dan Desember, rumah belum selesai 100 persen, KPR bida direalisasikan. Kalau ada ketentuan semacam ini (pelarangan KPR Inden), justru membuat semuanya berantakan.
"Rumahnya memang belum rampung 100 persen tapi KPR harusnya sudah dikucurkan supaya konsumen bisa menggunakan bunga yang berlaku di tahun berjalan. Bulan Januari, misalnya, mereka bisa menempati rumah tersebut," jelasnya.
Berkali-kali, Preadi mengungkapkan bahwa munculnya kebijakan ini berada pada waktu yang tidak tepat. Bisnis sedang menurun, dengan dikeluarkannya kebijakan yang dianggap Preadi tidak popular, justru akan semakin menciutkan bisnis perumahan. "Kalau BI takut akan keberadaan spekulan, maka REI bersedia menindak pengembang nakal tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghada berpendapat, rencana pengetatan KPR untuk rumah kedua oleh Bank Indonesia akan berdampak negatif dari sisi pasok dan kebutuhan pasar perumahan. Sebaiknya Bank Indonesia bisa lebih memahami kondisi lapangan pasar perumahan, di mana sebesar 20 persen-30 persen modal pengembang untuk membangun rumah adalah dari uang muka konsumen.
"Hal ini terjadi karena saat ini pengembang masih harus berhadapan dengan biaya tinggi dalam perencanaan termasuk biaya-biaya perijinan yang harus dikeluarkan," ujarnya.
Meski aturan ini tidak mengikat rumah bersubsidi, namun Ali mengingatkan BI agar tidak serta-merta memandang pembeli rumah kedua berada di kelas menengah atas. Jangan terjebak dalam paradigma yang seakan-akan memusuhi segmen menengah atas dengan alasan meredam aksi spekulasi.
"Naiknya jumlah masyarakat segmen menengah untuk membeli rumah kedua pun seharusnya disikapi dengan baik karena itu bukti peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan adanya aturan ini dikhawatirkan akan menurunkan daya beli masyarakat menengah yang sedang tumbuh dan mengganggu pasokan pasar perumahan di segmen menengah," imbuhnya.