Para pengembang dan pebisnis perhotelan melihat event internasional tersebut merupakan momentum kembalinya Bali sebagai destinasi wisata dunia. Oleh karena itu, mereka berlomba membangun penginapan jauh sebelum APEC digelar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai akhir 2011 saja, Bali telah dipenuhi 22.000 kamar hotel. Jumlah ini membengkak ketika setahun kemudian terdapat tambahan sekitar 3.400 kamar. Berturut-turut Bali akan disesaki sekitar 4.700 kamar pada 2013 dan 4.100 kamar pada 2014-2016. Sehingga menggenapi jumlah 34.226 kamar.
Menurut Horwarth HTL Asia, hampir setengah dari pasokan hotel baru tersebut berada di kawasan Bali Barat. Meskipun moratorium pembangunan hotel tengah berlaku di Badung, Denpasar dan Kabupaten Gianyar sejak Januari 2010, proyek pembangunan hotel jalan terus.
Hal ini dimungkinkan karena izin pembangunan dikeluarkan sebelum kebijakan moratorium diberlakukan.
Menggelembungnya jumlah kamar hotel ini, jelas membuat pelaku bisnis perhotelan prihatin sekaligus khawatir. Mereka bahkan meminta pemerintah provinsi Bali membatasi pasokan hotel baru, sebab tingkat hunian terus menunjukkan tendensi penurunan akibat kelebihan pasok.
Sekadar catatan, tingkat hunian hotel kelas B dan C sudah menurun sejak tiga tahun terakhir. Sementara jumlah pasokan jauh melebihi permintaan.
Meski begitu, pelaku bisnis perhotelan di Bali belajar dari masa-masa sulit antara 2002 dan 2007 dan sebagian besar hotel berupaya meningkatkan kinerja dengan menaikkan tarif hotel. Alih-alih menaikkan tingkat hunian. Itulah mengapa untuk semua segmen hotel, terjadi kenaikan tingkat ADR rerata 5 persen.
Pengembang hotel tradisional memiliki kecenderungan untuk membangun di bagian Barat dan Selatan Bali, terutama karena dekat dengan bandara. Para investor belajar bahwa jika mereka
mengembangkan lebih jauh dari bandara atau ke daerah terpencil, hotel akan lebih rentan terhadap kemerosotan tingkat hunian.