JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus hukum pencemaran nama baik yang melibatkan PT Duta Pertiwi Tbk dan Khoe Seng Seng (Aseng) yang berujung denda Rp 1 miliar harusnya menjadi pelajaran bagi konsumen dan juga para pemain properti. Sebuah pelajaran, bahwa sesungguhnya status hukum properti strata title non-hunian, punya banyak potensi konflik.
Perseteruan antara kedua pihak itu berawal dari surat pembaca yang dimuat media massa nasional (Baca: Kasus Surat Pembaca Dilimpahkan ke Kejaksaan). Surat pembaca tersebut berisi keluhan Aseng atas status tanah dari properti yang dibelinya, yaitu kios di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara.
Menurut Aseng, Duta Pertiwi mengklaim status tanah sebagai hak guna bangunan (HGB). Nyatanya, status tanah itu hanya diakui sebagai hak pengelolaan lahan (HPL) oleh Pemprov DKI Jakarta.
Tak terima nama baiknya dicemarkan, Duta Pertiwi kemudian melaporkan Aseng ke polisi atas pencemaran nama baik. Akhirnya, kasus tersebut sampai di Mahkamah Agung, yang memutuskan Aseng dikenakan hukuman dengan membayar denda Rp 1 miliar (Baca: Putusan MA Dinilai Belenggu Kebebasan Pers). Kemudian, pada Kamis lalu (30/5/2013) Aseng mengajukan mediasi agar bisa membayar denda dengan cara dicicil sebesar Rp 300.000 per bulan.
Waspada!
Nah, agar konsumen tidak mengalami kasus serupa Aseng, ada baiknya mempelajari apa dan bagaimana status hukum properti strata title non hunian atau kios dan perkantoran. Berikut potensi konflik yang perlu diwaspadai:
Selain status tanah HGB di atas HPL tersebut di atas, untuk properti strata title non hunian, masalah juga akan timbul tatkala pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Kriteria penghuni tidak tercakup dalam peraturan perundangan yang ada, karena untuk strata title non-hunian, satuan rumah susun (SRS) tidak dihuni 24 jam. Semantara itu, khusus untuk perkantoran terdapat kemajemukan, karena pegawai kantor secara gradual dapat selalu berubah, baik dari segi jumlah maupun personalianya.
Adapun untuk properti strata title campuran, pembentukan PPRS sangat sulit disatukan antara PPRS hunian, PPRS perkantoran dan PPRS pusat belanja/pertokoan. Bukan saja karena perbedaan pengunaan SRS-nya, juga heterogenitas penghuni baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya.
Di lain pihak, belum ada ketentuan khusus yang memberi peluang adanya beberapa PPRS dalam satu lingkungan properti strata title. Karena konstelasi bisnis yang selalu berubah, konsekuensinya ada beberapa fungsi properti yang diubah statusnya, dari yang sebelumnya properti strata title menjadi serviced apartment atau hotel.
Menurut Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia, Arie Sukanti Hutagalung dalam bukunya mengenai aspek hukum Satuan Rumah Susun, jika ini dilakukan hanya pada satu bangunan strata title yang meliputi satu lingkungan, maka akan terjadi ketimpangan pada pembentukan PPRS. Karena bangunan yang disewakan, seluruh Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)-nya dimiliki pengembang sehingga mereka mempunyai suara mayoritas dalam menentukan kehidupan bersama dalam properti strata title.
Potensi konflik, lanjut Arie, juga akan mudah ditemukan pada gedung bertingkat yang mengalami perubahan sistem kepemilikan individual ke sistem SRS. Ini belum ada ketentuan pastinya. Apakah perubahan tersebut dimungkinkan atau tidak. Bila dimungkinkan, pastinya akan terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi. Perubahan ini juga pasti menimbulkan konsekuensi aktual pada perubahan struktur bangunan, termasuk persyaratan-persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan regulasi yang ada.
Inilah kelemahan regulasi rumah susun yang memang sejatinya dirancang untuk kepentingan rumah susun sederhana (strata title hunian). Berhubung perkembangan bisnis dan industri properti sangat dinamis, sementara regulasi yang ada tidak mengakomodasi semuanya, maka yang terjadi kemudian adalah konsideran yang berlaku (UU Rumah Susun No. 16 tahun 85 dan Perturan Pemerintah No.4 tahun 1988) harus mengatur dengan kapasitas terbatas.
Akibatnya konflik-konflik yang timbul dan berkembang kemudian tidak (belum) terselesaikan secara final. Selalu saja ada masalah ikutan yang menyertai masalah awal. Ironinya, regulasi tersebut menjadi majal ketika dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh tidak saja pengembang juga pengelola dan pemilik/penghuni.
Padahal potensi konflik yang bakal timbul akibat persinggungan setelah properti strata title itu terbangun sangat besar, beragam dan lebih kompleks. Apalagi properti strata title sekarang sudah berkembang penggunaannya tidak hanya untuk hunian, juga non hunian (komersial) dan fungsi campuran.
Tentu saja, ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi dalam kelanjutan hidup bersama dalam properti strata title tersebut dan potensial terjadinya pelanggaran persyaratan administratif atas ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.