Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Tidak Akan Terpuruk....

Kompas.com - 01/05/2013, 10:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Munculnya kekhawatiran kembali terjadinya krisis akibat tidak terkendalinya pertumbuhan properti dinilai terlalu berlebihan. Sektor properti Indonesia masih terhitung aman dan akan terus meningkat seiring dengan menguatnya permintaan dan terbatasnya pasokan.

Demikian kesimpulan yang diutarakan dua konsultan properti Jones Lang LaSalle dan Knight Frank dalam menyikapi laporan Indeks Global Cities. Indeks tersebut menobatkan Jakarta sebagai kota dunia nomor satu dengan pertumbuhan harga properti mewah paling tinggi, yakni 38,1 persen. Capain tersebut jauh melampaui kota-kota dunia lainnya, seperti Hong Kong, Tokyo, London, bahkan New York.

Head of Strategic Consulting Jones Lang LaSalle Vivin Harsanto mengungkapkan, ada beberapa indikator yang menguatkan pendapat, bahwa Indonesia, khususnya Jakarta, tidak akan mengalami gelembung properti (bubble). Pertama, kondisi di seluruh sektor properti belum mencapai keseimbangan (equilibrium). Jumlah permintaannya melebihi ketersediaan, baik untuk hunian, apartemen, perkantoran, hotel, pusat belanja dan kawasan industri.

"Selain itu, harga basisnya pun terbilang paling rendah jika dibandingkan dengan kota-kota yang tersebut di atas. Jadi, pencapaian sekarang mestinya sudah terjadi dua atau tiga tahun lalu. Nah, Jakarta baru dalam kondisi 'merangkak' di saat kota-kota lain itu jatuh," ujar Vivin kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (30/4/2013).

Indikator kedua, lanjut Vivin, pertumbuhan harga properti mewah tersebut wajar terjadi, karena pasarnya khusus dengan ceruk yang sedikit, sementara permintaannya begitu tinggi. Permintaan tersebut berasal dari orang-orang yang sebelumnya berinvestasi di kota-kota besar dunia, seperti Hong Kong dan Singapura. Pada 2008 mereka memborong properti di sana karena harganya jatuh, namun tidak dapat mendatangkan imbal hasil sesuai harapan mereka.

"Kalangan yang seperti ini tidak sensitif terhadap harga, tidak perlu fasilitas KPR atau pinjaman dalam bentuk lain, karena tidak ingin direpotkan masalah administratif perbankan. Mereka membeli rumah dengan tunai keras atau tunai bertahap," tukas Vivin.

Sementara itu, Head of Capital Market and Investment Knight Frank Fakky Ismail Hidayat sepakat dengan pandangan Vivin. Menurut dia, secara fundamental, properti ditopang oleh pertumbuhan perekonomian makro yang positif. Indikator finansial yang kerap dituding sebagai penyebab krisis pun masih memperlihatkan kinerja positif.

Fakky mengatakan, Non performing loan (NPL) sektor properti masih di bawah 3 persen. Begitu pula dengan kredit konstruksi yang jumlahnya tidak terlalu signifikan karena bank menerapkan prinsip kehati-hatian secara ketat.

"Loan to value yang diberlakukan Bank Indonesia merupakan preventive message bagi para konsumen, sekaligus seleksi terhadap debitur yang dapat mengakses fasilitas KPR. Ini merupakan hal positif yang dapat memengaruhi performa NPL keseluruhan," imbuh Fakky.

Kepemilikan asing terhadap properti yang belum kunjung disahkan, juga boleh disebut sebagai blessing in disguise. Belum disahkan saja harga properti sudah membubung akibat dorongan domestic driven, apalagi kalau sudah disahkan.

"Ini menjadi sebuah tali kekang akan melesatnya pertumbuhan harga properti. Konsekuensi logis dari pertumbuhan harga properti mewah adalah ikut terkereknya harga kelas properti di bawahnya seperti kelas menengah dan bawah," ujarnya.

Namun, menurut Fakky, hal itu pun sebetulnya bisa diredam jika pemerintah memiliki political will untuk membeli dan menguasai lahan. Jika lahan dibeli oleh pemerintah, kemungkinan tersedianya properti dengan harga murah untuk kalangan menengah bawah yang sejatinya merupakan permintaan riil, dapat terpenuhi. Selain itu pengembang yang bermain di kelas ini diberi insentif berupa kucuran kredit konstruksi berbunga rendah dan pengenaan pajak khusus.

"Yang sekarang terjadi adalah, lahan dikuasai swasta. Pengembang yang membangun properti di atasnya pun mau tak mau harus menjual dengan harga yang juga tinggi. Efek dari pertumbuhan harga properti ini sepertinya lebih kepada potensi gejolak sosial, di mana kenaikan pendapatan kalangan menengah bawah tidak setinggi kenaikan harga properti," tandas Fakky.

Adapun keduanya sepakat, bahwa Indonesia tetap harus waspada jika kondisi suplai jauh melebihi permintaan. Sementara kondisi aktual saat ini, kebutuhan properti belum mencapai keseimbangan. Apalagi untuk kelas menengah bawah yang masih menyisakan kesenjangan 13,6 juta unit rumah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau