Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Infrastruktur dan Neraca Perdagangan

Kompas.com - 31/01/2013, 02:12 WIB

Oleh Mirza Adityaswara

Apa hubungan defisit infrastruktur dengan defisit neraca perdagangan?

Defisit infrastruktur berarti infrastruktur publik kurang: jalan, transportasi umum, air bersih, jembatan, bandara, pelabuhan, waduk, listrik, pencegah banjir, dan lain lain. Defisit neraca perdagangan berarti nilai impor barang lebih tinggi daripada nilai ekspor barang, baik minyak dan gas maupun nirmigas. Hubungan keduanya terletak pada ketersediaan dana.

Pembangunan infrastruktur di Indonesia di masa desentralisasi dan demokrasi ini membutuhkan kemampuan perencanaan dan eksekusi yang tangguh sebab pembebasan tanah di zaman ini berlarut-larut. Namun, pembangunan infrastruktur juga butuh dana besar. Di zaman desentralisasi ekonomi, beban tanggung jawab penyediaan infrastruktur publik lebih besar bertumpu pada pemerintah daerah. Sayangnya, pemda tak punya sumber daya yang cukup untuk menyediakan infrastruktur publik yang butuh dana besar.

Pada APBN 2013 pemerintah pusat, alokasi dana infrastruktur sekitar Rp 201 triliun. Kelihatan- nya besar, tetapi sebenarnya lebih kecil daripada pengeluaran bagi subsidi energi yang dianggarkan Rp 274 triliun dari seluruh anggaran pengeluaran pemerintah yang Rp 1.683 triliun itu.

Kealotan negosiasi pendanaan penanganan banjir dan pembangunan transportasi cepat massal (MRT) di Jakarta kian meya- kinkan kita bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berbagi mengalokasikan dana yang besar untuk infrastruktur.

Kota-kota besar

Jika dalam 20 tahun menda- tang pertumbuhan ekonomi di daerah naik pesat, sudah saatnya kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar mempersiapkan transportasi umum ala MRT atau monorel serta infrastruktur pencegah banjir agar warganya tidak stres. Warga yang stres akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Berbeda dengan sektor infrastruktur yang kurang dana, defi- sit neraca perdagangan di Indonesia justru terjadi karena melimpahnya dana. Hanya saja, dana itu bersumber dari subsidi yang penggunaannya tak produktif. Neraca perdagangan yang defisit—selama 50 tahun tak pernah terjadi—kita alami pada 2012. Ini disebabkan peningkatan impor nonmigas dan penggunaan dana subsidi untuk impor BBM.

Peningkatan konsumsi BBM, ditambah dengan produksi minyak yang menurun, membuat impor hasil minyak terus naik sehingga tak mampu lagi ditutup oleh ekspor migas. Sementara itu, subsidi BBM sebagian didanai oleh penerbitan utang baru pemerintah. Namun, kenyataannya pengorbanan itu malahan dinikmati mereka yang mampu beli mobil, bahkan mobil mewah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau