Defisit infrastruktur berarti infrastruktur publik kurang: jalan, transportasi umum, air bersih, jembatan, bandara, pelabuhan, waduk, listrik, pencegah banjir, dan lain lain. Defisit neraca perdagangan berarti nilai impor barang lebih tinggi daripada nilai ekspor barang, baik minyak dan gas maupun nirmigas. Hubungan keduanya terletak pada ketersediaan dana.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia di masa desentralisasi dan demokrasi ini membutuhkan kemampuan perencanaan dan eksekusi yang tangguh sebab pembebasan tanah di zaman ini berlarut-larut. Namun, pembangunan infrastruktur juga butuh dana besar. Di zaman desentralisasi ekonomi, beban tanggung jawab penyediaan infrastruktur publik lebih besar bertumpu pada pemerintah daerah. Sayangnya, pemda tak punya sumber daya yang cukup untuk menyediakan infrastruktur publik yang butuh dana besar.
Pada APBN 2013 pemerintah pusat, alokasi dana infrastruktur sekitar Rp 201 triliun. Kelihatan- nya besar, tetapi sebenarnya lebih kecil daripada pengeluaran bagi subsidi energi yang dianggarkan Rp 274 triliun dari seluruh anggaran pengeluaran pemerintah yang Rp 1.683 triliun itu.
Kealotan negosiasi pendanaan penanganan banjir dan pembangunan transportasi cepat massal (MRT) di Jakarta kian meya- kinkan kita bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berbagi mengalokasikan dana yang besar untuk infrastruktur.
Jika dalam 20 tahun menda- tang pertumbuhan ekonomi di daerah naik pesat, sudah saatnya kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar mempersiapkan transportasi umum ala MRT atau monorel serta infrastruktur pencegah banjir agar warganya tidak stres. Warga yang stres akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Berbeda dengan sektor infrastruktur yang kurang dana, defi- sit neraca perdagangan di Indonesia justru terjadi karena melimpahnya dana. Hanya saja, dana itu bersumber dari subsidi yang penggunaannya tak produktif. Neraca perdagangan yang defisit—selama 50 tahun tak pernah terjadi—kita alami pada 2012. Ini disebabkan peningkatan impor nonmigas dan penggunaan dana subsidi untuk impor BBM.
Peningkatan konsumsi BBM, ditambah dengan produksi minyak yang menurun, membuat impor hasil minyak terus naik sehingga tak mampu lagi ditutup oleh ekspor migas. Sementara itu, subsidi BBM sebagian didanai oleh penerbitan utang baru pemerintah. Namun, kenyataannya pengorbanan itu malahan dinikmati mereka yang mampu beli mobil, bahkan mobil mewah.
Tentu saja BBM subsidi banyak dinikmati warga pesepeda motor. Namun, kebanyakan anggota masyarakat beli sepeda motor karena terpaksa: tak tersedia transportasi publik yang memadai. Yang memprihatinkan, murahnya harga BBM di dalam negeri ditengarai telah membuat kebocoran. BBM bersubsidi digu- nakan industri besar dan mendo- rong penyelundupan BBM. Artinya, pemerintah menyubsidi BBM dengan menerbitkan utang baru serta menggunakan devisa mengimpor BBM yang ternyata tak dinikmati oleh orang miskin.
Dalam kurun Januari-November 2012, ekspor migas hanya 34 miliar dollar AS, sementara impor migas sudah mendekati 39 miliar dollar AS. Terjadi defisit hampir 5 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan migas merupakan faktor penyebab utama pelemahan (depresiasi) kurs rupiah akhir-akhir ini.
Lagi pula, melemahnya ekspor komoditas nonmigas, seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel, kian menekan kinerja ekspor Indonesia dan mengganggu stabilitas cadangan devisa. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,3 miliar dollar AS, padahal di tahun 2011 dalam kurun sama (Januari-November) surplus besar: 25 miliar dollar AS.
Penurunan kinerja ekspor nonmigas telah menurunkan pula kinerja penerimaan pajak nonmigas pada 2012. Subsidi energi pada 2012 mencapai Rp 306 triliun. Memang betul, defisit APBN masih aman dipandang dari sisi rasionya terhadap PDB: di bawah 2 persen PDB. Jumlah kumulatif utang pemerintah juga di bawah 30 persen PDB (patokan bahaya adalah jika utang pemerintah di atas 60 persen PDB).
Selama utang dipakai untuk kegiatan produktif, boleh saja individu, perusahaan, atau pemerintah berutang. Yang mengkhawatirkan adalah APBN 2012 sudah defisit primer Rp 72 triliun. Artinya, penerimaan tak cukup membiayai pengeluaran di luar utang. Akibatnya, bayar utang harus dengan utang baru.
Semakin besar subsidi BBM, semakin besar defisit anggaran pemerintah. Ini mengorbankan hak warga memperoleh infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Dana pengembangan inovasi teknologi dan penguatan pertahanan keamanan pun berkurang. Jika kita tak serius menangani penyebab defisit neraca perdagangan migas, dalam beberapa tahun ini bisa menjadi problem serius: menjalar menjadi defisit stabilitas sektor keuangan seperti kita alami pada 2005 dan 2008.
Kurs rupiah yang melemah sa- at ini masih terkendali sehingga dapat mengurangi impor nonmigas dan meningkatkan daya kompetisi produk ekspor nonmigas. Namun, apabila investor pasar keuangan tidak lagi percaya kepada kualitas pengelolaan makroekonomi Indonesia, itu tidak baik bagi stabilitas sistem keuangan. Para spekulan akan menyerang pasar rupiah dan pada gilirannya mengganggu stabilitas produksi barang dan jasa di masyarakat.
Saat ini minat investor di pasar modal dan penanaman modal asing sedang tinggi ke Indonesia karena kondisi negara maju yang sedang suram. Pada saat seperti ini kebijakan ”sedikit’ pengura- ngan subsidi BBM harus diambil sebelum terlambat.