Astronomi, Pedoman Bertani Dayak Meratus

Kompas.com - 07/08/2012, 13:09 WIB

Oleh Hasan Zainuddin

Ketertarikan pada tanaman padi sudah tumbuh sejak dirinya masih kecil dan setiap kali melihat hamparan padi menguning, hatinya selalu terenyuh, karena padi yang menguning menunduk berat, tanda harapan bagi petani masih ada.

"Saya yakin siapapun yang melihat padi sedang menguning, hatinya pasti senang, karena kesenangan pada padi bersifat universal, padi tetaplah tanaman yang terindah dan terpenting yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia," kata Dr Ir Abdul Haris Mustari,dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Oleh karena itu, ketika terlibat dalam penelitian Tim Ekspedisi Khatulistiwa di Pegunungan Meratus Provinsi Kalimantan Selatan bersama Tim TNI, Haris Mustari mengaku matanya selalu tertuju pada hamparan padi menguning di lembah dan lereng Pegunungan Meratus itu.

Kebetulan dalam periode ekspedisi itu, April-Juli 2012,  bertepatan dengan musim padi menguning di penjuru negeri Meratus.

Karena itu ia tertarik untuk menggali kehidupan agraris dan kearifan tradisional Dayak dalam bercocok tanam dan bagaimana mereka memperlakukan padi secara istimewa. "Kami memang tidak punya uang, tapi kami sugih (kaya) banih (padi)," demikian pak Imar penduduk Pegunungan Meratus seperti dikisahkan Haris Mustari.

Menurut Haris kala itu Pak Imar berkisah ketika semalam suntuk saat ia dan Praka Paskhas Tugiran meminta izin untuk menginap bersamanya di pehumaan (sawah lahan kering)  di Gunung Nunungin yang sejuk di kampung Manakili, Loksado, Pegunungan Meratus.

Tujuan mereka menginap adalah menggali kearifan tradisional Dayak melalui tokoh itu.  Meski singkat, tapi sangat mengesankan untuk menimba ilmu yang sangat berharga dari Pak Imar.

"Saya dengan latar belakang akademis dari suatu perguruan tinggi yang terkenal dan tertua ilmu-ilmu pertaniannya, IPB dan sempat menimba ilmu selama kurang lebih tujuh tahun di luar negeri, bagi saya ilmu yang diberikan tokoh dan masyarakat Dayak itu membuat saya semakin menundukkan kepala dan merendahkan hati," Kata Haris Mustari.

Ternyata banyak ilmu bertani dan kearifan tradisional warisan leluhur yang sangat berguna yang tidak didapatkan di bangku kuliah, tambah Haris Mustari. "Kami adalah Dayak Meratus, yang mewarisi hutan dan alam Pegunungan Meratus," demikian Pak Imar dan penduduk setempat membuat identitas diri.

Bagi orang Dayak, bercocok tanam adalah sumber utama penghidupan. Penduduk asli Kalimantan ini menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, singkong, keladi, pisang, ubi dan berbagai jenis palawija yang menunjang kehidupan sehari hari.

Dari berbagai jenis komoditi pertanian tersebut, padi adalah yang paling utama karena menjadi makanan pokok.

Padi dalam bahasa Dayak Meratus disebut banih, setiap nama padi didahului dengan kata banih.  Bagi orang Dayak, padi bukan sekedar makanan pokok tetapi menjadi jenis tanaman yang disakralkan. "Padi adalah pemberian langsung Sang Dewata atau Sang Hyang yang sangat penting bagi kami," ujar Pak Imar kepala adat di kampung Manakili.

Padi  diperlakukan istimewa, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, bahkan setelah dipanen dan disimpan di lumbung, padi tetap diperlakukan istimewa.

Padi ditanam pada lahan kering dengan sistem perladangan berpindah/balik dengan rotasi bervariasi 5 - 10 tahun.  Lokasi perladangan, dalam bahasa Dayak disebut Pahumaan, mulai dari dataran rendah sampai lereng-lereng terjal di perbukitan dan pegunungan, bahkan sampai bagian lereng sekitar 70 derajat masih dapat dijumpai lahan penanaman padi orang Dayak.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau