KORNELIS KEWA AMA
Pesisir pantai Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sepanjang sekitar 4,5 kilometer terasa teduh. Hamparan hutan mangrove di kawasan itu adalah hasil perjuangan Juliman Messakh selama sekitar 50 tahun terakhir. Pada usia 78 tahun kini, dia tetap bekerja menjaga, merawat, dan menanam mangrove. Baginya, pantai harus tetap dijaga dari bencana abrasi air laut.
Ketika mendatangi tempat tinggalnya di Tanah Merah, awal April, Juliman sedang berada di pantai. Istrinya, Ribka, mengatakan, setiap pagi suaminya pasti pergi ke pantai untuk melihat mangrove. Di kawasan itu, ada saja yang dikerjakan Juliman. Kalau tidak memperbaiki pagar, ia mengusir kambing, membersihkan dahan atau ranting kering, atau menanam mangrove.
Meski jarum jam baru menunjukkan pukul 09.30 Wita, panas di pantai Tanah Merah terasa menyengat. Juliman tidak mengenakan baju, hanya bercelana pendek selutut. Ia sedang memperbaiki pagar yang rusak. Badannya bermandikan keringat.
”Pagar ini sering diambil orang untuk kayu bakar. Padahal, pagar itu penting untuk menjaga kambing agar tidak masuk ke kawasan mangrove. Kalau ternak sapi tidak merusak, tetapi kambing bisa menghabiskan semua mangrove sampai batangnya,” kata Juliman.
Lokasi Dusun V Desa Tanah Merah yang kini dihuni sekitar 70 kepala keluarga itu nyaris disapu abrasi pada tahun 1962. Ketika itu Juliman berusia 28 tahun. Kala itu, dia melihat sendiri bagaimana ombak mengikis pasir dan membongkar sejumlah tanaman di atasnya. Gelombang tinggi membawa apa pun di daratan yang bisa digapainya ke laut.
Ketika itu seorang pendeta asal Jerman mengusulkan agar lokasi itu ditanami mangrove agar terhindar dari abrasi. Sang pendeta kemudian membawa Juliman ke Pantai Oesapa, Nusa Tenggara Timur, untuk menunjukkan bagaimana mangrove tumbuh secara alamiah dan mampu menahan abrasi.
Tak perlu menunggu lama, Juliman mulai menanam anakan mangrove di sepanjang pesisir pantai Tanah Merah bersama Ribka yang baru dinikahi tahun itu juga, 1962. Anakan mangrove diambilnya dari pantai Oesapa, sekitar 25 kilometer dari Tanah Merah. Perlahan-lahan tetapi pasti, mangrove di Tanah Merah tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai.
Menanam mangrove tidak membutuhkan air. Namun, agar lebih berhasil, biji mangrove disemai lebih dulu, dan saat mulai tumbuh mangrove dimasukkan dalam
Budidaya mangrove ketika itu dilakukan Juliman secara alami. Sebelumnya, dia tak pernah mengikuti kursus atau mendapat petunjuk apa pun dari pemerintah. Baru pada tahun 1995, ia mengikuti pelatihan mengenai budidaya hutan mangrove di Denpasar, Bali.
Mangrove yang ditanam di sepanjang pesisir pantai Tanah Merah sampai Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, itu terbukti telah berhasil membendung air laut merembes ke lahan daratan. Pohon kelapa, lontar, asam, dan rumah-rumah penduduk di sepanjang pesisir itu pun aman, tidak terancam abrasi pantai.
Juliman selalu mengingatkan para tetangga yang mendiami kawasan pesisir Tanah Merah dan Oebelo agar tidak menebang mangrove. Ia juga meminta mereka tidak melepas ternak kambingnya ke kawasan mangrove. Juliman pun tetap rajin menanam kembali bila ada mangrove yang rusak atau mati. Alhasil areal seluas sekitar 50 hektar pun terhindar dari bencana abrasi pantai.
Di kawasan hutan mangrove itu, Juliman pernah mencoba membudidayakan udang dan kepiting. Akan tetapi, keterbatasan modal membuat dia tidak mampu membuat bedeng penghalang sehingga udang dan kepiting yang dibudidayakannya pun hanyut ke perairan luas.
Juliman bercerita, sejak memulai menanam mangrove puluhan tahun lalu, dia sebenarnya telah mengajak serta penduduk setempat untuk mengikuti jejaknya. Dia berharap cakupan areal penanaman mangrove bisa meluas sampai ke kawasan pesisir sebelah barat dan timur dari lokasi yang telah dihijaukan di Tanah Merah dan Oebelo.
Sayang, warga tak menyambut positif ajakan Juliman. Mereka beralasan, tidak ada pekerjaan yang dilakukan secara gratis. Meski penghijauan sekalipun, mereka meminta bayaran. Sesuatu yang tak mungkin dia wujudkan.
”Saya tetap bekerja meski tidak mendapat keuntungan langsung dari kegiatan ini (menanam dan memelihara mangrove). Saya menghidupi keluarga dari hasil menjadi nelayan, dan tanaman di lahan ini, seperti kelapa, asam, pisang, jagung, dan umbi-umbian,” kata Juliman.
Tahun 2006, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kota Kupang meminta Juliman mengadakan 30.000 anakan mangrove dalam
”Kalau dihitung-hitung, tidak ada keuntungan saya di sini. Bahkan, untuk membeli
Dia lalu bercerita, selama puluhan tahun menanam mangrove, dananya dari kocek pribadi.
Juliman tetap bersemangat memelihara mangrove dengan harapan generasi berikutnya akan melanjutkan apa yang telah dirintisnya.
”Semoga tidak hanya di kawasan pesisir ini, tetapi juga di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Kupang
Juliman mengatakan, pada masa pemerintahan Wali Kota Kupang Samuel Kristian Leryk tahun 1997-2007, ia pernah mengajukan proposal untuk melakukan pengerukan tanah, pengadaan bibit mangrove,
Pemerintah, terutama pemerintah daerah, seakan tak peduli pada masalah abrasi pantai. Meski ”tugas” yang dilakukan Juliman di Tanah Merah telah mendapat penghargaan dan kunjungan dari perwakilan Pemerintah Belanda tahun 1997. Ironis!
***
JULIMAN MESSAKH