Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus (dan bisa) dilakukan. Kita bisa muncul dengan daftar jawaban yang sangat panjang. Namun secara realistis dan dalam jangka pendek kita hanya bisa melakukan beberapa hal. Maka prioritisasi menjadi penting sekali. Isu pembangunan yang mengemuka saat ini adalah kemiskinan. Beberapa studi (misalnya McCulloch et al, 2007) menunjukkan bahwa salah satu jalan keluar dari kemiskinan di Indonesia adalah dengan membantu migrasi pekerja dari sektor pertanian dan informal ke sektor non-pertanian dan formal. Di sini faktor yang penting adalah fleksibilitas pasar kerja.
Tingkat kemiskinan juga menunjukkan disparitas regional dan dikotomi desa-kota (rural-urban). Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan mempunyai tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Namun, tempat lain, terutama di bagian timur, memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Tingkat kemiskinan rural mencapai 17,4 persen dan urban 10,7 persen. Kesenjangan ini bahkan lebih parah pada dimensi kemiskinan nonmoneter. Di sini faktor yang penting berhubungan dengan konektivitas regional serta desa-kota: infrastruktur.
Kemudahan bermigrasi—baik pekerja maupun transportasi barang—antar sektor akan membantu pengurangan jumlah kemiskinan, karena akses bagi mereka yang miskin pada kesempatan ekonomi makin terbuka. Maka, beban pada sumber daya alam tak terbarukan seperti hutan dan tambang juga berkurang sehingga emisi karbondioksida bisa lebih dikendalikan.
Saat ini sektor manufaktur menunjukkan pertumbuhan yang masih rendah. Padahal, sektor ini menyerap tenaga kerja relatif banyak. Ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas primer. Di sini ada peran penting dari sistem logistik terutama infrastruktur. Dibanding komoditas primer, komoditas manufaktur harus berhadapan dengan biaya logistik dengan frekuensi lebih tinggi. Infrastruktur yang buruk menimbulkan disinsentif yang secara tak langsung mengalihkan kegiatan produksi dari sektor penyerap tenaga kerja ke sektor yang lebih bertopang modal.
Tentu pembangunan infrastruktur adalah hal yang kompleks, termasuk pendanaannya. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah perbaikan pada struktur APBN. Saat ini alokasi untuk subsidi mencapai hampir Rp 200 triliun, atau 2,5 persen dari PDB—lebih besar daripada defisit APBN. Sebagian besar subsidi diarahkan untuk konsumsi energi (BBM dan listrik); jumlahnya melebihi pengeluaran untuk infrastruktur. Selain praktik anggaran seperti ini tidak produktif, ia juga membawa dampak buruk terhadap lingkungan.
Murahnya konsumsi energi berbasis fosil (berkat subsidi) menyebabkan insentif untuk investasi pada energi terbarukan menjadi sangat kecil. Produknya tak akan mampu bersaing dengan produk energi yang disubsidi. Selain itu, dengan alokasi begitu besar untuk subsidi, kesempatan membangun infrastruktur dengan lebih baik juga tak dapat dimanfaatkan dengan optimal, sehingga migrasi antarsektor dan antarwilayah menjadi terhambat. Maka, masalah kemiskinan dan lingkungan tak dapat ditangani dengan baik.
Dalam jangka pendek mungkin ada hubungan substitusi (saling meniadakan) antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Namun, ia akan berubah menjadi komplementer dalam jangka lebih panjang jika ada upaya berkelanjutan—gradual sekalipun—untuk menginternalkan eksternalitas lingkungan.
Salah satu upaya itu adalah dengan mulai menyadari bahwa praktik subsidi pada konsumsi energi berbasis fosil justru mendistorsi insentif menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan; pembangunan inklusif yang mampu memberi akses lebih besar bagi orang miskin untuk keluar dari kemiskinan.