Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Charles Brookfield: Aston Bangun Hotel di Setiap Kota

Kompas.com - 29/11/2010, 09:26 WIB

Dulu Anda memang bercita-cita jadi pengusaha hotel?
Ketika saya masih kecil, saya bercita-cita ingin menjadi profesor dan mengajar sejarah dan bahasa inggris di universitas.

Tapi ketika saya di college, saya berpikir harus mencari uang. Jadi saya mengganti cita-cita saya dari menjadi profesor ke pebisnis. Saya ambil mata kuliah bisnis. Dan setelah lulus, saya sempat bekerja di perusahaan konsultan bisnis di Boston selama lima tahun.

Kapan Anda bergabung dengan Aston?
Tahun 1976 saya bergabung dengan Aston, yang waktu itu masih merupakan perusahaan kecil di Hawaii, Amerika. Saya 18 tahun bekerja di sana, sempat menjadi GM hotel kecil dan kemudian Vice President Aston di Hawaii.

Setelah dipromosikan menjadi President Aston International, saya mulai mencari peluang baru. Negara mana yang perlu didatangi untuk mengembangkan Aston.

Kapan Anda mengembangkan Aston di Indonesia dan apa fokus Anda?
Saya melirik Asia. Saya melihat Indonesia yang memiliki jumlah penduduk hingga 200-an juta. Saya pikir saya mendapat tantangan untuk membangun, mengelola Aston di Indonesia.

Tahun 1997 saya datang ke Indonesia. Namun tak berapa lama, terjadi krisis ekonomi dan Presiden Soeharto jatuh. Saat itu bisnis hotel di Indonesia tidak berkembang karena tak ada yang mau datang ke hotel pada masa krisis ekonomi.

Saya ingin sekali berkompetisi dengan hotel yang memiliki brand-brand besar seperti Hyatt, Shangri-La yang punya banyak kamar dan restoran. Tapi saya lebih mencari pasar menengah dan di bawahnya.

Jakarta punya banyak hotel bintang lima, namun bintang lima di Jakarta beda dengan di Singapura. Saya lalu berpendapat Aston sebaiknya membangun hotel bintang empat dengan pangsa pasar domestik. Dan banyak kota lainnya butuh hotel bintang tiga dan bintang dua.

Mengapa Anda memutuskan masuk pasar Indonesia?
Tentu saja saya membuat riset terlebih dahulu tentang Indonesia, Filipina, Maldives dan negara lainnya. China dan India negara dengan jumlah penduduk sangat banyak. Di China, Aston butuh hubungan yang sangat kuat dengan pemerintah di sana.

Tapi di Indonesia, demokrasi mulai tumbuh setelah rezim Soeharto jatuh tahun 1998. Jadi saya pikir saya mengambil risiko besar, gambling, dengan menanamkan uang di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com