Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa Puisi "Gugur Merah" Merdeka Hampa!

Kompas.com - 30/06/2009, 01:51 WIB

Judul Buku  : Gugur Merah (Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965)
Penyusun/Penyunting : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit   : Merah Kesumba, Jogjakarta
Tebal    : 966 hal (15 x 24 cm)
ISBN   : 978-979-18475-1-3
Peresensi  : Engkos Kosnadi *)

Inilah puisi Merah Kesumba Nyoto yang ditemukan lagi ruhnya: [Darah lumumba merah kesumba, darah lumumba merah kesumba, Konggo!, Laparmu lapar kami, Lapar revolusi, Darah Lumumba meriah kesumba, darah Lumumba Merah Kesumba, Konggo!, Revolusimu revolusi kami, Revolusi kita, Revolusi dunia] Segenggam puisi tanpa tanggal penulisan yang membakar, inilah realitas penyair-penyair di jaman itu. Sebuah fase revolusi, jalan darah yang akhirnya ditemui para fungsionaris hingga simpatisan PKI, yang menurut Prof. Safii Maarif di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) itulah langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semua “diabdikan” untuk mecapai tujuan revolusi yang belum rampung. Ya, buku ini juga sepertinya dilahirkan sama yaitu membongkar panggung yang rapat tanpa celah, secarik panggung kebudayaan yang “dihilangkan” dari wajah Indonesia yang bersama kita merdekakan.

Sejarah senyap (silence history) yang ditabuh lirih inilah yang dicoba ditampilkan di hadapan sidang pembaca Indonesia pasca 1965, sewaktu dengan ruang demokrasi yang sedang menanjak naik dan kebebasan bersuara menjadi sebuah keharuan yang paripurna. Rakyat bisa memilih, begitupun dengan bacaannya, langkah membakar buku dan amis darah sudah selayaknya dibuang jauh-jauh samudra biru-ke dasar hingga tak lagi kita lakukan kesalahan sejarah yang serupa genosida. Tak ada yang lebih tahu semua hasrat dan keinginan rakyat selain rakyat itu sendiri, itu membukti dengan hak rakyat yang lebih LUBERJURDIL, pun demikian seharusnya di ranah bacaan. Puisi Demokrasi Agam Wispi akan pas dengan hal tersebut: [...jenderal, tentu bukan kalian pemberi tanah, upah dan Irian yang kami mau: kita tegak satu barisan, maka diatas segala: kebaikan kami bicara].

Pembongkaran nisan Lekra ini menurut penulisnya disandarkan pada kehendak membuka tabir phobia, “Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra adalah nisan kebudayaan yang disenyapkan eksistensinya selama puluhan tahun lamanya. Aktivitas mereka yang bergemuruh pada periode 1950-1965 seakan hilang tanpa jejak. Yang ada adalah deret ukur dosa politik kebudayaan mereka dalam menegakan prinsip-prinsip yang mereka yakini sebagai kebenaran. Yang ada adalah jejak hitam dengan noda bopeng-bopeng. Mereka tak lagi punya mulut untuk menuturkan sendiri apa yang akan mereka lakukan selama 15 tahu yang bergemuruh itu. Mulut mereka dilakban. Mereka dujurubicarai oleh orang lain yang sialnya adalah musuh-musuh politik kebudayaan mereka...” inilah realitas sosial politik bangsa besar ini selama menikmati kemerdekaan. Siapa merdeka?

Buku gugur merah ini sesungguhnya adalah buku trilogi antara Lekra Tak Membakar Buku, Laporan Dari Bawah: Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat-Lekra dan buku ini yang dikerjakan 1,5 tahun secara masif dan intensif, kerja riset yang harus dihargai bagi bangsa ini! Karena kita merdeka. Buku tebal yang tak gampang doyong/miring-miring ini hadir 452 dari 111 penyair yang terkumpul dalam buku Harian Rakjat yang katanya terserak dibeberapa perpustakaan yang konon kabarnya terkunci lama hingga sah menjadi umpan rayap dan musuh-musuh kertas lainnya, tapi dari tangan penyusun inilah ketiga bacaan ini hadir merayu pembacanya.

Membaca kumpulan puisi ini kita dengan serta-merta akan memandang jauh pada realisme sosialis, yang dalam kutipan Pramoedya Ananta Toer atas W.I Lenin dikatakan “Kegiatan sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat, menjadi ‘roda dan sekrup’ kesatuan besar mekanisme sosial-demokratik, yang digerakan oleh seluruh barisan depan klas pekerja yang mempunyai kesadaran politik. Kegiatan sastra harus menjadi unsur daripada garapan partai gabungan sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana”. Nah, dari sini jelas bahwa ada usaha terstruktur untuk mengarahkan para sastrawan di “lingkaran” itu untuk menjadikan sastra sebagai mesin politik, atau sebaliknya! Masih dalam bahasa Pram dikatakan bahwa “realisme-sosialis” adalah pempraktekan sosialisme di bidang kreasi sastra.

Maka yang mempergunakan metode ini-karena “reslisme-sosialis” adalah satu metode di bidang kreasi untuk memenangkan sosialisme selamanya punya warna dan lebih penting lagi adalah politik yang tegas, militan, kentara, tak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan nama yang dipergunakannya. Ia merupakan bagian integral daripada kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, dalam meghalu imperialisme dan kolonialisme...”(Pramoedya Ananta Toer: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, 2003), seperti puisi Kusni Sulang, Merayakan Kemerdekaan: [tanah airku tersayang, agaknya kemerdekaan hari ini yang dirayakan, belum sebulat-bulatnya kemerdekaan, bagai sunyai belum menyuarakan keseluruhan dunia, komando Bung Karno, untuk tegakkan sosialisme kemerdekaan sesungguhnya, dan dunia baru yang harus dibina...]. Hal dua diatas menjadi cerminan dari pernyataan sikap Lekra yang mengatakan “perjuangan kebudayaan rakyat adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari petjuangan rakyat umum....ia harus menjadi stimulator (pendorong) dari massa, menjadi sumber yang senantiasa mengalirkan begeestering (kesegaran djiwa) dan Api-Revolusioner”....dan ini dipraktekan para penyair yang diikat dalam buku ini.

Dan buku ini pula yang menjadi bukti dari keseriusan para penyair dalam melaksanakan kebijakan partai dalam memandang kebudayaan asing dan kebidayaan kuno bangsa sendiri yang dimaktubkan “kebudajaan asing akan diambil sarija dengan tjara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakjat Indonesia. Demikian pula kebudayaan Indonesia kono tidak akan dibuang seluruhnja, tetapi djuga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudajaan kuno akan diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru jaitu kebudajaan Demokrasi Rakjat”(Pramoedya Ananta Toer: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, 2003).

Jadi jelaslah ketika Joebaar Ajoeb berkata “Puisi Indonesia Progresif, tampil kedepan, menjanjikan semarak, penderitaan, kebahagiaan dan kebangkitan Rakjat yang sedang berdjuang. Kami kembangkan segala macam bentuk puisi, selama ia setia pada kebenaran, kenjataan dan kemadjuan...” inilah bentuk realismenya, disinilah dipertontonkan puisi yang bersandar pada realitas, kebenaran dan dipandu konsep 1-5-1 (polutik adalah panglima, lima kombinasi, Turba) tapi memang belum purna karena bagi Lekra cum PKI seharusnya puisi adalah pamplet politik yang langsung menggasak, maka lahirlah puisi rasa pamflet! Mari baca potongan puisi D.N. Aidit Hanya inilah jalannya: [...kita pasti akan sampai keujung jalan ini, dimana tak ada sepatu usang, dimana tak ada lumpur membenam, dimana tak ada teratak bocor, tapi hanya inilah jalannya] dan Untukmu Pahlawan Tani: [dikala senja mencari cerah, petani menggarap sawah, mencari seuli padi, sisa pembagi dari tuan tanah keji, bagi hasil sungguh adil, tanah-tanah kerdil, merampok seluruh hasil...] terbaca lugas, selugas puisi Agam Wispi [...ayo kawan, mari keluar, hati kita lebih keras dari lapar, genggamlah salam kata bergetar, solidaritas! kuat-tegar-benar...] persis bahasa agitasi!, pun demikian bertebarannya bahasa “turun ke bawah” seperti puisi Eka Rahendra, Hari Ketiga Didesa [...darisana banyak tangis, dari yang kehilangan padiladang, dari yang korbankorban sanak-keluarga, dan dari lamanya menanti hidup penuh ketentraman].

Pada ruhnya buku yang senang membesarkan huruf a,b,j ini mengajak untuk menengok kembali sesanti yang telah diukir mereka diatas hamparan sajadah panjang kebudayaan bangsa. Pun demikian seperti keluwesan puisi S.W. Kuncahyo mereka punya andil dalam mengisi ruang-ruang bahasa di jalamnya dan dengan pasti mereka adalah [...baju yang lusuh karena peluh, tubuh gemetar karena lapar, sekali-sekali jangan kau hina, sebab kamilah buruh, kami proletar, di dada kami api merdeka, tak pernah pudar...], para penyair Lekra punya jatah mengibarkan bendera bangsa!. Begitupun sesosok Sobron yang Diam dan Terbakar kata-kata [diam-diam aku telah banyak belajar, dari kau yang paling kurang ajar, sebagai satu misal: betapa kami mencinta, dari kau yang gemar memukul, betapa kami bekerja, dari kau yang pengekang, kau lahirkan gertak peras-tindas, dan kau belajar bagaimana bangun, dari kehidupan yang kau bikin kejam bengis, terasa padaku: aku tambah licin, tadi dan hari ini kau jaya, hati dan kini aku tersayat, didalam terbakar, diluar mengumpul, besok lusa padamu api menjilat, adakalanya, serta kau lihat: kami bangun, timbul, satu barisan yang gemilang gempita, atas kemenanganmu yang gagal, diam-diam kami telah banyak belajar, dari kau yang paling kurang ajar, diam-diam kami menyala memburu, dunia akan berganti rupa, yang lapuk hancur, yang baru subur] hingga buku ini adalah buktinya!

Buku ini adalah bukti bahwa sejarah kebenaran tetap akan bersuara, lewat keindahan bahasa yang tanpa kata romantis melankolis buku ini tetap menemukan darah merahnya, hingga pesan Pram yang mashur selalu berkata “harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya”, jadi selama anda belum membaca buku ini, mohon tidak menempel stempel di jidat mereka!

[Pesan Penerbit, Order ke: 08886854721 (Mbak Nurul). Rekening Bank: BCA 4450813791 (atas nama Nurul Hidayah), BNI 0116544928 (atas nama Nurul Hidayah). Kalau sudah mohon diberitahu ke nomor telp tersebut. Dua hari buku akan sampai!]

*) Peneliti di Kaoem Dewantara Institute
FB: http://www.facebook.com/ramaprabu Blog: http://ramaprabu.multiply.com
e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau