Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Tutur Harus Diimbangi Budaya Tulis

Kompas.com - 25/05/2009, 16:56 WIB

KULON PROGO, KOMPAS.com — Pengisahan sejarah sebaiknya tidak hanya melalui penuturan, melainkan juga dengan penulisan. Penerapan budaya tutur yang tidak diimbangi budaya tulis dinilai dapat menyebabkan distorsi terhadap kisah sejarah karena terpengaruh oleh subyektivitas dari penutur itu sendiri.

Di Kulon Progo banyak terdapat cerita rakyat dan legenda yang bermuatan nilai sejarah, tetapi sudah memiliki banyak versi di kalangan masyarakat. Seperti misalnya Legenda Goa Kiskendo yang diyakini sebagai bagian dari epos Ramayana, tetapi tidak sedikit pula warga yang percaya bahwa gua di Kecamatan Girimulyo itu adalah sebuah kerajaan kuno yang benar-benar eksis di masa lalu.

"Versi cerita muncul akibat adanya distorsi sejarah. Versi mana yang benar tidak diketahui karena tidak ada bukti tulisan. Legenda itu hanya ditirukan dari mulut ke mulut," ujar Kepala Subdinas Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kulon Progo Sigit Wisnitomo, Senin (25/5).

Ia melanjutkan, kemungkinan kisah sejarah benar-benar bisa hilang di masa depan karena terlalu banyak versi. Kisah sejarah juga akan tereduksi karena banyak penutur atau pelaku sejarah yang sudah uzur dan tidak mampu meneruskan kisah secara lisan.

Dampaknya, generasi penerus terancam kehilangan identitas lokal karena tidak paham tentang sejarah dan budayanya sendiri. Mereka akan lebih menerima dan memahami sejarah bangsa lain yang didukung oleh bukti dokumentasi kuat dan konkret.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Sigit telah mengimbau warga untuk aktif menulis setiap kisah atau cerita yang pernah mereka dengar. Pemerintah daerah juga berusaha proaktif dengan mulai menyusun buku legenda Kulon Progo sejak tahun 2008. Saat ini, buku tersebut masih direvisi sehingga belum diterbitkan.

Menurut Marwanto, Koordinator Lumbung Aksara sebuah komunitas peduli sastra di Kulon Progo, kentalnya penggunaan budaya tutur di kalangan masyarakat terjadi karena terpengaruh oleh beberapa faktor. Budaya tutur merupakan wujud komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, sementara keberadaan forum atau komunitas menulis di kalangan masyarakat nyaris tidak pernah ada.  

"Budaya modern yang masuk dan diterima oleh masyarakat juga kebanyakan tergolong sebagai budaya tutur. Tayangan televisi dan siaran radio adalah contohnya," ujar Marwanto.

Meski begitu, budaya tutur dan tulis sebaiknya tidak saling menghilangkan, tetapi berdampingan dalam porsi yang imbang. Budaya tulis diakui memang akan menghasilkan bukti dan alur kisah yang lebih mudah dipahami, tetapi tutur juga penting karena menjadi bentuk komunikasi primer antarindividu.

Karena itu, pemerintah daerah sebaiknya tidak hanya menggalakkan budaya tulis, tetapi juga merevitalisasi budaya tutur secara lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau