Tahun 1980-an mereka yang berlatih kesenian di PMS mencapai 30 orang, tetapi kini tinggal lima sampai 10 orang setiap pekan. Itu pun anak-anak dan remaja. Jadilah seperangkat gamelan di aula sering menganggur, hanya ditabuh sepekan sekali oleh kaum ibu di luar warga peranakan.
Gwan Hien hampir sendirian melatih para murid. Sesekali, Erna, asistennya, membantu dia. Tari yang mereka latih bukan lagi tarian Jawa ”klasik”, seperti Golek atau Bondan, sebab anak-anak merasa enggan.
”Mereka bilang itu kuno. Iramanya ngleler,” katanya.
Maka, ia lebih sering melatih tarian jenis kreasi baru yang dinamis, dan dia adaptasi dari tarian nasional. Ia juga membuat tari kreasi baru dengan dasar balet, tarian India, dan tarian Mandarin.
Gwan Hien menyayangkan kurangnya promosi untuk menjaring minat generasi muda peranakan dalam berkesenian. Oleh karena itu, ia tak tahu bagaimana masa depan kegiatan kesenian di PMS.
”Kalau saya sudah tidak ada, (kegiatan di sini) mungkin akan bubar,” ujar pria yang menerima honor Rp 150.000 per bulan dari PMS ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.