Setelah mengumpulkan uang yang cukup, ia memberanikan diri untuk mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR).
Saat itu tahun 2009, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN menjadi bank pilihannya karena menawarkan program KPR dengan bunga terjangkau.
Dengan tenor 14 tahun, Hedi siap membayar cicilan sebesar 12 persen dengan nominal Rp 2,5 juta per bulan untuk rumah yang dibelinya.
Pria yang berprofesi sebagai wiraswasta ini memutuskan untuk membeli rumah melalui angsuran karena jika tidak dipaksakan, entah sampai kapan ia akan punya rumah bila harus membayar secara tunai.
Terlebih lagi, setelah memiliki istri dan anak, tentunya biaya hidup semakin meningkat.
“Daripada uangnya habis enggak karuan, mending buat mencicil rumah ke bank. Soalnya kalau enggak dicicil, enggak bakal bisa punya barang. Kalau mau beli cash enggak ada duitnya terus,” ujar Hedi saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (14/2/2021).
Ia merasa bersyukur bisa menjalani proses akad KPR dengan cukup mudah dan waktu yang relatif singkat.
Tidak sampai satu bulan, proses yang ditempuh mulai dari kali pertama mengajukan aplikasi hingga penandatanganan akad kredit bisa rampung dengan baik.
Rumah yang menjadi pilihannya terletak di Perumahan Griya Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Mengaku beruntung, Hedi masih berkesempatan mendapatkan rumah dengan luas tanah 130 meter persegi dan luas bangunan 45 meter persegi.
Karena meningkatnya kebutuhan ruang, ia kemudian merenovasi rumah secara bertahap hingga luasnya menjadi 150 meter persegi dalam struktur dua lantai.
Bagi Hedi, fasilitas di perumahan non-subsidi itu pun cukup memadai, mulai dari listrik, air, kebersihan, keamanan, hingga sarana dan prasarana umum, seperti tempat ibadah dan pertokoan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, ada harapan Hedi yang sampai kini belum tersampaikan. Ia ingin agar BTN menurunkan suku bunga KPR.
Tidak hanya untuk nasabah atau debitur baru, tetapi juga bagi debitur lama yang selama ini sudah setia mengangsur KPR dengan teratur.
Hal ini mengingat kondisi pagebluk virus corona belum usai dan sangat memengaruhi perekonomian.
Dengan begitu, masyarakat dari semua tingkat ekonomi, termasuk yang berpenghasilan rendah, memiliki kesempatan besar untuk mempunyai rumah yang nyaman, layak huni, dan terjangkau.
“Saya berharap dengan kondisi ini (pandemi Covid-19) ya suku bunga turunlah, kayak zaman dulu suku bunga 8 sampai 9 persen. Jadi cicilan enggak terlalu besar. Keinginan orang punya rumah pasti tinggi, makanya kalau bisa bunganya diturunkan sedikit,” pintanya.
Demikian pula dengan pengalaman Rahmat Baihaki, tanpa terasa kini ia sudah masuk tahun kesembilan mengangsur KPR sejak 2012 untuk rumah yang dibelinya di Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.
Rahmat memilih KPR BTN dengan opsi tenor selama 18 tahun. Ia mengungkapkan, cicilan awalnya sebesar Rp 4 juta per bulan, kemudian naik menjadi Rp 4.025.000 per bulan, dan meningkat lagi sekarang menjadi Rp 4.190.000 per bulan.
Suku bunganya pun masih tetap 12 persen, belum pernah turun, meski ia sudah loyal membayar angsuran tersebut.
“Harapan saya itu penurunan suku bunga kredit tidak hanya dirasakan nasabah baru, tapi nasabah lama juga bisa turut menikmati, jadi harus diperhatikan. Misalnya kayak saya ini bunganya 12 persen, ya 12 persen terus enggak pernah turun, malah naik terus,” ucap Rahmat.
Ia berpendapat, dari sisi perbankan seharusnya bunga komersial bisa lebih ditekan lagi sehingga tidak memberatkan cicilan nasabah, termasuk dalam masa pandemi Covid-19 ini.
Sebab, suku bunga BI sudah mulai turun, jadi semestinya suku bunga KPR juga bisa diturunkan tidak hanya untuk nasabah baru, tetapi juga nasabah yang sudah bertahun-tahun.
Sepengetahuan Rahmat, belum pernah ada bunga KPR turun kalau bukan karena nasabahnya yang mengajukan diri.
Dia menilai tidak ada kerelaan dari bank untuk menurunkan bunga kredit karena pertimbangan faktor keuntungan yang akan berkurang atau target dari pemiliknya sebagai pemegang saham, dalam hal ini BTN yang dimiliki oleh pemerintah.
BTN sebagai bank KPR milik pemerintah seharusnya tidak dibebani target profit yang besar karena bisnis intinya adalah pembiayaan perumahan rakyat.
"Kalau tidak dibebani keuntungan yang tinggi, ya berarti tidak perlu mencari keuntungan yang besar dari kredit nasabahnya. Jadi, rakyat dibiayai untuk bisa punya rumah sehingga BTN tidak membebankan bunga yang tinggi untuk nasabahnya,” tutur Rahmat.
Catatan pelaku industri
Pengaruh Covid-19 nyata dirasakan oleh para pengembang di Tanah Air. Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, pada Januari 2021, terdapat penurunan angka penjualan properti antara 5 sampai 7 persen.
Menurut dia, hal itu terjadi karena tiga faktor. Pertama, jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat sehingga pandemi menjadi berkepanjangan.
Kedua, rancangan peraturan pemerintah yang tertunda sehingga pelaku industri properti masih menunggu hasil finalnya.
Faktor ketiga yaitu perbankan masih mengetatkan filter untuk merealisasikan kredit perumahan.
“Kondisi-kondisi ini jadi pantauan market, sehingga kita berusaha mencari alternatif untuk meningkatkan sentimen pasar,” ucap Totok, panggilan karibnya, Senin (15/2/2021).
Sebab, tambahnya, sektor properti berkaitan dengan 174 bidang industri dari total 185 bidang industri lainnya. Artinya, hampir 95 persen bidang usaha berkaitan dengan properti.
Maka dari itu, dia mengaku, REI pun siap berpartisipasi dalam pemulihan ekonomi nasional karena properti merupakan salah satu indeks kondisi makroekonomi suatu negara.
“Suatu daerah bisa dikatakan maju kalau propertinya mendukung. Sebaliknya, kalau tanpa properti, tidak ada daerah yang maju,” imbuhnya.
Bagi Totok, membangkitkan kembali perekonomian nasional harus dengan kolaborasi yang efektif bersama semua pihak, termasuk pemerintah.
Salah satunya melalui regulasi yang kondusif dengan mempertimbangkan keseimbangan dalam pasar antara pengembang dan masyarakat sebagai konsumen.
Selain itu, perbankan juga wajib mengerti dan menerima betapa sulitnya kondisi pasar saat pandemi seperti ini.
Contohnya debitur yang berprofesi sebagai karyawan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Otomatis angsuran KPR-nya juga macet karena debitur tersebut sedang susah keuangannya.
Tidak hanya itu, Totok pun mengungkapkan keluhan dari rekan-rekan pengembangnya yang tersebar di berbagai daerah bahwa penyaluran KPR, terutama dari BTN yang porsinya terbesar, saat ini semakin berat.
Dia mengilustrasikan, kalau dulu mereka mengajukan 10 calon debitur ke kantor cabang, bisa sampai delapan orang yang disetujui.
Namun kini, bila 10 calon nasabah yang diajukan ke kantor cabang, hanya sekitar dua orang yang mendapat persetujuan, bahkan kadang tidak ada sama sekali.
“Karena sekarang sistemnya harus lewat pusat dan terkomputerisasi. Mencari end user dalam krisis begini kan enggak gampang, makanya ayolah kita cari bagaimana way out-nya supaya filter enggak terlalu ketat,” kata Totok.
Sesuai salah satu protokol kesehatan yang berlaku saat ini, dia pun mengibaratkan supaya bank jangan memakai masker yang sangat ketat, tetapi harus agak diperlonggar.
“Maskernya jangan yang N95, cukup masker medis 3 ply. Filter itu tetap ada karena kondisi krisis, tapi jangan pakai N95. Maksudnya, cari end user itu sekarang ketat, enggak gampang realisasi kalau enggak ada penghasilan. Makanya, end user tetaplah diperkuat dulu secara bertahap,” tambahnya.
Rupanya kepayahan itu juga dialami oleh pelaku industri semen yang berhubungan erat dengan properti. Berkurangnya pembangunan perumahan mengakibatkan penjualan semen pun menurun.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso mengungkapkan, realisasi penjualan semen dalam negeri pada 2020 turun berkisar 10 persen dibanding tahun 2019, dari lebih kurang 70 juta ton menjadi hanya sekitar 63 juta ton.
“Masalahnya memang pembangunannya berkurang karena Covid sehingga perekonomian anjlok, jadi masyarakat kalau mau bikin rumah ya tunggu dulu. Kalau yang baru ancang ancang juga tunggu Covid selesai, itulah makanya pembangunan rumah juga turun,” tutur Widodo kepada Kompas.com.
Namun, ia merasa masih beruntung karena nilai minus penjualan dalam negeri itu tertolong oleh kenaikan jumlah ekspor sebesar 45 persen, dari tahun 2019 sebanyak 6,3 juta ton menjadi 9,3 juta ton pada 2020.
Meski demikian, ia optimistis bahwa tahun 2021 ini industri semen dalam negeri akan kembali cerah.
Salah satu alasannya yaitu peningkatan anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, termasuk perumahan, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjadi sekitar Rp 149 triliun dari tahun 2020 yang besarannya lebih kurang Rp 120 triliun.
Dengan begitu, diharapkan pembangunan perumahan akan bergairah kembali sehingga mampu ikut mendorong pemulihan perekonomian nasional.
“Sektor perumahan itu penting untuk pemulihan ekonomi nasional, misalnya bunga bank turun, uang muka diperkecil, angsuran diperpanjang, dan lain-lain. Kebijakan itu yang diharapkan supaya perumahan bisa meningkat, ekonomi juga pulih. Nah, itu harus di-back up pemerintah,” jelas Widodo.
Jika hal itu dilaksanakan, sambungnya, akan semakin banyak masyarakat yang berkesempatan memiliki rumah yang terjangkau dan layak untuk ditinggali.
Peran perbankan
Berhubungan dengan sektor perumahan, bank merupakan salah satu pihak penting dalam pembiayaan. Begitu pula dengan BTN.
Dalam kiprahnya selama puluhan tahun di industri perbankan Tanah Air, BTN berusaha terus melakukan pembiayaan perumahan karena dinilai sebagai salah satu faktor penggerak perekonomian nasional.
Direktur Consumer and Commercial Lending PT Bank Tabungan Negara Tbk Hirwandi Gafar mengaku, eksistensi BTN sebagai bank penyalur KPR, terutama yang subsidi, cukup dominan di Indonesia.
Kontribusinya mencapai di atas 80 persen dibanding bank lainnya, baik pemerintah maupun swasta.
Pencapaian itu terbukti paling tidak dalam setahun terakhir. Jika dijumlah total, penyaluran KPR subsidi dan non-subsidi dari BTN bernilai sekitar Rp 24 triliun pada 2020 untuk membiayai lebih dari 144.000 unit rumah.
Adapun untuk tahun 2021, ditargetkan nilai nominalnya meningkat menjadi Rp 30 triliun hingga Rp 35 triliun yang digunakan untuk pembiayaan 150.000 sampai 200.000 unit rumah di seluruh Nusantara.
Ia mengatakan, BTN menyadari pentingnya pembiayaan itu karena, seperti yang disebutkan sebelumnya, pembangunan sektor perumahan mempunyai efek berantai yang besar ke lebih dari 170 industri lainnya.
“Satu perumahan berikut lingkungannya itu impact-nya ke 174 industri, baik selama pembangunan maupun setelah perumahan itu selesai. Tentu menggerakkan semua sektor, baik UMKM maupun korporasi,” ujar Hirwandi.
Pengaruh itu pun berlaku untuk pemerintah yang akan menerima berbagai macam pajak, misalnya pajak bumi dan bangunan serta pajak jual beli.
Bagi masyarakat selaku debitur, tentu akan terbantu untuk memiliki rumah. Mereka yang tadinya tidak mampu membeli rumah dengan bunga komersial, kemudian pemerintah melalui BTN hadir memberikan KPR subsidi sehingga membantu masyarakat untuk mengangsur pembayaran rumah.
Dia menekankan, harus disadari juga bahwa keberadaan rumah pada masa pandemi Covid-19 ini juga amat penting karena masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah.
Contohnya, anak-anak menjalani sekolah daring, orangtua bekerja dari rumah atau work from home (WFH), dan tidak sedikit orang yang memesan makanan pun dari rumah.
Maka dari itu, sehubungan dengan pembiayaan KPR dari perbankan, Hirwandi berharap pemerintah menambah kuota subsidi perumahan untuk tahun 2021.
“Kuota total yang ada saat ini sekitar 157.500 unit, diharapkan bisa meningkat menjadi 250.000 unit. Tentunya jumlah itu akan membantu semakin banyak masyarakat,” lanjutnya.
Terkait kondisi pandemi sekarang ini, ia pun mendukung pendapat bahwa perlu ada sejumlah terobosan khusus dari pemerintah untuk mempermudah pembiayaan KPR yang bisa berkontribusi mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Hal pertama, menurut dia, pemerintah daerah (pemda) harus berperan lebih aktif lagi untuk mengajukan daftar warga yang membutuhkan subsidi perumahan karena pemda itu sendiri yang lebih mengetahui kondisi perekonomian masyarakatnya.
Kebijakan kedua, tambahnya, yakni penentuan lokasi perumahan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus jelas tata ruang wilayahnya, bahkan sampai ke rencana detail tata ruangnya.
Selain itu, perizinan pun harus dipermudah dan biayanya lebih murah dibanding rumah komersial.
Terobosan ketiga berkaitan dengan lembaga pemerintahan, yaitu Kementerian ATR/BPN bisa mempersingkat proses sertifikasi tanah dan bangunan.
Misalnya, pemecahan sertifikat untuk rumah subsidi bisa dilakukan langsung dari sertifikat hak guna bangunan (SHGB) induk menjadi sertifikat hak milik (SHM).
Adapun bagi Kementerian PUPR, disarankan bisa berperan memanfaatkan tanah wakaf untuk pembangunan rumah subsidi sehingga harganya jauh lebih murah.
“Jadi semua yang dilakukan ke depannya harus lebih komprehensif. Dengan upaya-upaya itu, jelas bisa mendorong usaha pemulihan ekonomi nasional,” tutur Hirwandi dengan tegas.
Komitmen pemerintah
Usaha kolaborasi untuk memulihkan perekonomian nasional itu memang sejalan dengan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta agar semua kementerian dan lembaga negara segera memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 untuk menggerakkan perekonomian yang lesu akibat pandemi Covid-19.
"Saat perekonomian kita masih lesu maka belanja pemerintah, tadi sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa belanja pemerintah menjadi penggerak utama roda ekonomi kita. Oleh karena itu, APBN 2021 harus segera dimanfaatkan, harus segera dibelanjakan untuk menggerakkan ekonomi kita," kata Presiden Jokowi, Rabu (25/11/2020).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dalam APBN tahun 2021, pemerintah mengalokasikan belanja negara sebesar Rp 2.750 triliun.
Jumlah ini meningkat dibandingkan belanja negara pada APBN 2020 yang awalnya sekitar Rp 2.540 triliun, kemudian mengalami kenaikan menjadi lebih kurang Rp 2.613 triliun.
Dari jumlah tersebut, anggaran untuk Kementerian PUPR sebesar Rp 149,8 triliun.
Khusus untuk perumahan, Kementerian PUPR menyiapkan dana Rp 8,09 triliun pada 2021 melalui berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perumahan.
Bujet sebesar itu direncanakan untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni yang semakin banyak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Indonesia.
Sebagai prioritas adalah melanjutkan Program Sejuta Rumah. Realisasi yang akan dilaksanakan yaitu melalui pembangunan rumah susun (rusun); Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk membangun rumah swadaya; bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) rumah umum; serta rumah khusus (rusus).
Pada tahun ini, Ditjen Perumahan akan membangun 9.799 unit rumah susun di berbagai daerah dengan alokasi anggaran sebesar Rp 4,16 triliun.
Kemudian, untuk pembangunan rumah swadaya melalui dana BSPS sekitar Rp 2,5 triliun yang akan dialokasikan untuk membedah 114.900 unit rumah tidak layak huni (RTLH).
Berikutnya yaitu bantuan PSU rumah umum yang anggarannya sebanyak Rp 406 miliar untuk pembangunan 40.000 unit rumah bersubsidi.
Adapun untuk rumah khusus, alokasi anggarannya Rp 606 miliar untuk membangun 2.423 unit rumah.
“Kami akan terus mendorong pembangunan rumah untuk masyarakat Indonesia. Program perumahan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyediakan rumah layak huni serta meningkatkan perekonomian nasional,” ujar Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid, Senin (1/2/2021) di Jakarta.
Melalui berbagai cara, upaya, dan pembiayaan tersebut, diharapkan optimisme kebangkitan kembali perekonomian Indonesia bisa tercapai dan pembuktian komitmen semua pihak, termasuk di sektor perumahan, untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dapat terealisasi.
https://properti.kompas.com/read/2021/02/18/110000521/optimisme-sektor-perumahan-dalam-pemulihan-ekonomi-nasional