Hal ini bisa terjadi karena terdapat pergerakan orang atau bangkitan ekonomi baru di kawasan bangunan gedung tersebut.
Benar sekali, bahkan bukan hanya potensi, tapi pasti menimbulkan pergerakan (baru) orang-orang dari dan menuju kawasan gedung tersebut. Kecuali kalau gedungnya tidak laku alias kosong.
Tapi, adalah tidak tepat bila serta merta Bung Deddy mengatakan gedung baru menimbulkan kemacetan lalu lintas baru.
Perlu diketahui, kemacetan lalu lintas bukan efek langsung dari adanya gedung baru. Kemacetan lalu lintas adalah efek dari banyak hal. Di antaranya karena jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.
Sementara keberadaan gedung baru tidak otomatis menimbulkan kemacetan. Bila gedung baru tersebut terletak di area dengan kapasitas jalan yang cukup, ya tentu tidak akan menimbulkan kemacetan.
Sebaliknya bila gedung baru tersebut mengikuti peruntukkan dan intensitas pembangunan seperti koefisien dasar bangunan (KDB), dan koefisien lantai bangunan (KLB) sesuai dengan aturan pemerintah, tentu tidak akan menimbulkan kemacetan.
Karena teorinya, intensitas pembangunan ditentukan oleh kapasitas jalan. Jadi, tidak akan sesederhana yang disebut Bung Deddy bahwa gedung baru pasti menimbulkan kemacetan.
Bung Deddy melanjutkan dengan mengatakan “arsitek selalu membangun gedung baru berikut fasilitas parkirnya, yang secara tidak langsung menambah kemacetan lalu lintas”.
Pertama yang harus diluruskan, bukan arsitek yang membangun gedung baru. Yang membangun gedung adalah pemilik proyek. Arsitek hanya membantu pemilik proyek mendesainkan gedungnya.
Kedua, arsitek mengadakan fasilitas parkir di gedung yang didesainnya karena tuntutan peraturan dan kebutuhan klien.
Jadi tidak mungkin arsitek meniadakan gedung parkir “agar tidak menambah kemacetan” karena itu bertentangan dengan peraturan yang menuntut.
Mengatakan fasilitas parkir akan menambah kemacetan tidak tepat. Dan bahkan pada banyak kasus di Indonesia, kalau tidak ada gedung parkir (atau kurang) justru menimbulkan kemacetan lalu lintas karena pemilik mobil akan memarkirkannya di jalan.
Lihat saja salah satu apartemen di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, yang kekurangan tempat parkir. Adalah logika yang kurang tepat bila mengatakan semata-mata ruang parkir mengundang orang gemar menggunakan kendaraan pribadi.
Seseorang menggunakan kendaraan pribadi karena banyak hal, yakni tidak ada transportasi umum layak dan murah, ingin lebih aman, karena merasa ada kemudahan-kemudahan yang didapat dengan menggunakan kendaraan pribadi, lebih hemat, ingin terlihat keren, dan macam alasan lain.
Gedung parkir baru hanya mengakomodasi kendaraan. Apakah bila ada peraturan lain yang menyulitkan seperti ganjil genap, atau jalan berbayar, orang tetap gemar membawa kendaraan pribadi? Atau bila sudah ada transportasi masal yang aman nyaman dan murah, orang masih mau bawa mobil pribadi?
Tidak menyediakan parkir sudah pasti tidak akan diberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bung Deddy mengutip peraturan-peraturan tentang parkir, artinya mengerti bahwa arsitek bekerja berdasarkan peraturan-peraturan ini.
Tugas arsitek itu merancang bangunan, dengan segala persyaratan teknis, peraturan, dan tidak kalah penting, kebutuhan klien.
Manajemen rekayasa lalulintas seperti yang disebut Bung Deddy, penataan kota ramah angkutan massal, itu bukan ranahnya arsitek. Arsitek tidak punya kekuasaan untuk itu.
Percayalah, arsitek pun sama sebalnya dengan kenyataan bahwa sistem transportasi jalan raya adalah satu-satunya yang dimiliki kota-kota kita dan mendorong banyak hal dalam perancangan suatu gedung.
Arsitek juga ingin merancang suatu gedung yang terintegrasi dengan sistem Mass Rapid Transit (MRT) yang modern.
Arsitek, sebagai profesi, adalah perancang bangunan. Bukan penentu kebijakan, apalagi membuat sistem angkutan umum massal.
Jadi lucu kalau tanggung jawab untuk menyediakan shelter bus misalnya, ditimpakan kepada arsitek. Tangan arsitek tidak sekuat itu, peran arsitek sangat terbatas.
Kalau kita mau hal-hal seperti ini dilakukan di dalam suatu perancangan gedung, aturlah secara hukum. Bikin undang-undangnya, bikin peraturannya.
Arsitek, secara naluri profesi, selalu berusaha mengakomodasi kebutuhan. Termasuk kebutuhan akan integrasi suatu bangunan dengan sistem transportasi massal.
Ini salah satu elemen dasar dalam perancangan suatu gedung. Bahkan dalam proses sidang Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), hal ini salah satu yang amat disorot.
Begitu juga dalam proses perizinan lainnya, pasti suatu desain melewati proses dinas-dinas pemerintah terkait, salah satunya Dinas Perhubungan.
Mengenai transit oriented development (TOD) dan transit join development (TJD) yang diulas Bung Deddy, kita bicara tentang skala di sini.
Ide mencukupi kebutuhan manusia dalam satu tapak itu sudah dan sedang dilakukan di banyak tempat dengan nama superblok.
Namun, sebagus apa pun superblok ini, tidak akan dapat mengakomdoasi semua kebutuhan manusia hingga tidak perlu pergi ke destinasi lain.
Ide dasar kota adalah memenuhi semua kebutuhan manusia penghuninya di satu tempat. Tapi karena skalanya besar, ya ujungnya jadi satu kota juga.
Dalam suatu kota, sudah pasti terjadi pergerakan manusia di dalamnya, artinya diperlukan sistem transportasi umum.
Peran arsitek diperlukan dalam merancang fasilitas pendukung sistem transportasi umum seperti yang disebutkan Bung Deddy.
Tapi jangan salah, bukan arsitek yang membangun sarana pelayanan umum, tapi Pemerintah. Arsitek sebagai profesional tidak punya dana dan kekuasaan untuk membangun pelayanan angkutan umum.
Sekali lagi, jangan mencampuradukkan antara desain bangunan dengan layanan atau sistem transportasi umum.
Bacalah Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek. Seharusnya kita semua mengerti, kemacetan jalan itu suatu masalah yang amat luas dan kompleks.
Tapi kalau kemudian arsitek ikut diseret bertanggung jawab atas kemacetan jalan, nanti dulu.
Dalam bekerja mendesain bangunan, arsitek diikat dan diatur banyak hal, mulai dari disiplin
keilmuan arsitektur sendiri, disiplin keilmuan lain seperti struktur, dan mekanikal elektrikal.
Belum lagi kode etik arsitek, peraturan dan hukum, kepentingan masyarakat umum, dan tentunya kepentingan klien sebagai pemilik proyek.
Bila hal-hal ini, terutama secara hukum sudah dipenuhi di dalam suatu desain bangunan, maka aneh bila arsitek dibilang ikut bertanggung jawab terhadap kemacetan lalu lintas.
Bukan arsitek yang membuat jalan raya, bukan arsitek yang membuat peraturan tentang bangunan dan transportasi, dan bukan arsitek yang punya kekuasaaan untuk membangun sistem transportasi.
Lalu siapa yang paling bertanggung jawab atas kemacetan lalu lintas? Siapa yang seharusnya membangun sistem transportasi umum selain jalan raya? Siapa yang mengatur banyaknya kendaraan yang bisa memenuhi jalan raya? Siapa yang mengatur pajak kendaraan bermotor?
Siapa yang mengatur peruntukan zonasi suatu kota? Siapa yang mengatur intensitas pembangunan suatu daerah? Saya yakin Bung Deddy tahu jawabannya. Yang jelas, bukan arsitek.
https://properti.kompas.com/read/2020/10/24/110409921/benarkah-arsitek-ikut-bertanggung-jawab-atas-kemacetan-kota