Awal mula keberhasilan DKI Jakarta menata angkutan umum massal dengan konsep BRT, diikuti oleh kota-kota besar lain di Indonesia.
Kota-kota ini mengadopsi nama yang sama persis dengan Bus TransJakarta yang dioperasikan oleh PT Transportasi Jakarta (BUMD).
Mereka pun mengklaim memiliki jaringan BRT. Sebut saja Bogor dengan TransPakuan, Solo dengan Batik SoloTrans, dan Semarang dengan TransSemarang.
Menyusul kemudian Yogyakarta dengan TransJogja, TransMetro di Bandung, TransMusi di Palembang, TransPadang di Padang, TransMamminasata di Makassar, Trans Bandar Lampung, Trans Sarbagita Denpasar, BRTS Medan, dan Suroboyo Bus.
Selain kota-kota tersebut, masih banyak kota lain yang sudah mengajukan proposal ke Direktorat Perhubungan Darat untuk perizinan sistem BRT demi memperoleh subsidi.
Namun sayangnya, konsep BRT yang dilaksanakan dan diusulkan sejumlah daerah tersebut berbeda dengan sistem BRT yang terdapat di DKI Jakarta.
BRT Jakarta adalah sebuah konsep rapid, yakni berjalan di lajur khusus tidak bercampur oleh kendaraan lain sehingga waktu perjalanan dapat diukur dan terjadwal.
Lajur bus BRT ini kita kenal dengan busway atau bus lane. Saat awal dioperasikan di Jakarta, BRT TransJakarta ini malah terkenal dengan nama busway, bukan bus TransJakarta.
Mengapa terkenal dengan busway? Karena memang busnya berjalan di lajur khusus yang oleh Pemprov DKI dinamakan busway dalam kampanye saat awal BRT beroperasi.
Gagasan sistem BRT Jakarta tercetus sejak 2001 ketika Pemprov DKI studi banding ke TransMilenio Bogota Kolombia.
Kemudian Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso saat itu mengusulkan sistem BRT tersebut dioperasikan di Jakarta.
Tahun 2002 gagasan BRT Jakarta masuk dalam Business Plan Jakarta Busway dan akhirnya diresmikan pada 15 Januari 2004.
BRT Jakarta merupakan BRT pertama di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Hingga September 2020 telah ada 13 koridor (belum termasuk rencana penambahan 2 koridor), dengan panjang 230,9 kilometer, dilengkapi 243 halte, dan lebih dari 1347 sarana bus.
Kini PT Transportasi Jakarta mengklaim diri memiliki BRT terbesar dibanding BRT kota lain di dunia.
Busway sebagai right of way BRT Jakarta berhasil mengajak pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaaraan umum massal.
Sebelum pandemi Covid-19, BRT TransJakarta mampu menggangkut 900.000 hingga 1.000.000 penumpang per hari.
Target Badan Pengatur Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Tahun 2029 modal share pengguna angkutan umum adalah 60 persen. Angka eksisting masih 16-20 persen pengguna angkutan umum di DKI Jakarta.
Artinya masih memerlukan kebijakan kreatif push and pull lagi agar publik beralih ke transportasi umum agar mencapai 60 persen dari total semua pengguna jalan.
Sistem Bus TransJakarta dimodelkan seperti sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia.
Gubernur DKI Jakarta meletakkan tanggung jawab pembangunan fisik infrastrukturnya kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Kemudian saat awal dioperasikan Badan Pengelola (BP) TransJakarta berada di bawah Gubernur langsung dengan Kepala BP pertama Irzal Jamal.
BP ini tidak bertahan, 2006 berganti menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta. Namun BLU belum genap 6 tahun, berganti baju pada tahun 2011-2013 menjadi Unit Pengelola (UP).
Nyatanya UP malah mengkerdilkan tata kelola TransJakarta. Akhirnya pada 2014 berdirilah BUMD PT Transportasi Jakarta dengan kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta.
BUMD ini dituntut mandiri dan professional namun tetap memperoleh subsidi dari Pemprov DKI melalui skema Public Service Obligation (PSO) untuk menekan tarif flat dalam transit sistem.
Konsep BRT ini dinilai benar dan tepat karena menggunakan sistem transit dengan tarif flat. BRT sebagai jalur trunk (utama), didukung dengan sistem feeder (pengumpan) masuk trayek menuju kawasan-kawasan di sekitarnya (pola pergerakan transitnya seperti pola “duri ikan”) .
Feeder tersebut dinamakan Mikrotrans dan Metrotrans (non BRT) atau terkenal dengan bus low deck.
Sejarah BRT
BRT pertama kali digunakan dalam skala besar di Curitiba (Brazil) pada tahun 1974. Dari pengalaman Curitiba, kemudian banyak kota dunia mengembangkannya dengan sistem serupa.
Sebelumnya, pada tahun 1970-an, pengembangan sistem BRT terbatas di Amerika Utara dan Selatan.
Baru kemudian pada akhir tahun 1990-an, reproduksi konsep BRT mulai tumbuh kembali dan dibuka di Quito, Ekuador pada tahun 1996, Los Angeles, AS, pada tahun 1999, dan Bogota, Kolombia, pada tahun 2000.
Proyek TransMilenio di Bogota mulai beroperasi pada tahun 2000 dan keberhasilannya telah menarik perhatian masyarakat internasional sebagai contoh sistem BRT.
Saat ini, terdapat 70 sistem BRT yang telah berhasil di dunia. Termasuk sistem BRT di Nagoya-Jepang dan Taipei-Taiwan yang telah dianggap sebagai sistem yang relatif lengkap di kawasan Asia.
Ambiguitas teori BRT
Ambiguitas pemahaman BRT di beberapa kota di Indonesia, termasuk pemerintah sendiri karena salah satu teori diambil dari buku “Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta” (Save M. Dagun, 2006: Pustaka Harapan, Jakarta).
Dalam buku tersebut menyatakan bahwa BRT meliputi bus besar yang beroperasi di jalan raya bersama-sama lalu lintas umum (mixed traffic), atau dipisahkan dari lalu lintas umum dengan marka (bus lanes), atau dioperasikan pada lintasan khusus (busways).
Mulai dari pendapat psikolog inilah maka masyarakat termasuk mahasiswa/pelajar menyakini bahwa BRT itu dapat berjalan di jalan umum bercampur dengan kendaraan lain (mixed-traffic).
Jadi dari sinilah pemahaman BRT blunder seakan-akan dapat berjalan di jalan umum (campur).
Memang BRT tidak selalu berjalan di lajur sendiri, adakalanya bercampur dengan kendaraan lain bila memang ditemukan ruang milik jalan (rumija) sempit.
Kriteria jalur khusus BRT atau busway dedicated harus ada minimal panjang 3 kilometer tiap koridor pada ruas jalan yang padat lalu lintasnya (penilaian BRT standar internasional, 2016 ).
Ada puluhan definisi mengenai BRT dari pakar transportasi dunia, umumnya memang menyatakan bahwa BRT berjalan di lajur sendiri sebagai the right of way.
Pada level urban transport, BRT setingkat dengan moda Mass Rapid Transit (MRT), terdapat kesamaan semantik transport “mass“, “rapid”, dan “transit”.
Secara umum BRT dan MRT diartikan sama-sama angkutan massal yang berjalan di jalur sendiri dengan waktu tempuh yang cepat dan didesain untuk angkutan transit.
Bedanya, BRT berjalan di jalan khusus menggunakan roda karet sedangkan MRT berjalan di rel dengan roda besi.
Kita lihat definsi MRT dari NGO independen, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 2016: Bus Rapid Transit (BRT) merupakan sistem transportasi berbasis bus yang berkapasitas dan berkecepatan tinggi, serta memiliki kualitas layanan yang baik dengan biaya yang relatif murah.
BRT juga mengombinasikan beberapa elemen seperti jalur khusus bus yang pada umumnya berada pada median jalan, penarikan tarif off-board, level boarding, prioritas bus pada persimpangan, dan elemen kualitas layanan lainnya (seperti teknologi informasi serta branding yang kuat).
Bandingkan dengan definisi dari World Bank:
Bus Rapid Transit (BRT) is the name given to sophisticated bus sistems that have their own lanes on city streets. These sistems use bus stations instead of bus stops, a design feature that allows passengers to pay before boarding the bus. Bus stations allow for faster, more orderly boarding similar to the procedures used on metro and light rail sistems. Stations have elevated boarding platforms level with the bus floors, so that passengers do not need to climb steps to get on the bus. Electronic signage tells passengers when the next bus is arriving. BRT is faster, safer, more efficient, and more user-friendly than traditional bus sistems. (Transforming Cities with Transit, The World Bank, Washington DC, 2013).
Pengertian BRT dari World bank sama dengan ITDP. BRT adalah sistem bus canggih yang memiliki jalur sendiri di jalan kota.
Sistem operasi ini menggunakan halte bus memungkinkan penumpang membayar tiket sebelum naik bus.
Pada halte memungkinkan boarding yang lebih cepat dan tertib, serupa dengan sistem kereta perkotaan (metro) dan kereta ringan. Halte memiliki platform/peron tinggi (high deck) bus.
Sistem informasi petunjuk elektronik memberi tahu penumpang kapan bus berikutnya tiba karena memang kedatangan/keberangakan bus terjadual.
BRT lebih cepat, lebih aman, lebih efisien, dan lebih ramah pengguna daripada sistem bus konvensional.
Bila melihat dari definisi ITDP dan World Bank di atas, hanya BRT DKI Jakarta dengan bus TransJakarta yang paling sesuai.
Jadi dapat dikatakan, studi-studi atau opini-opini dengan nama sistem BRT di luar wilayah Jakarta bukanlah sistem BRT yang benar.
Saat ini pun World Bank tengah mengembangkan sistem BRT di Cebu, Philipina, dengan konsep sistem yang serupa dengan BRT Trans Jakarta.
Tidak salah bila kita gunakan standar BRT dari World Bank, karena mereka lembaga keuangan dunia yang telah berhasil mengembangkan sistem transportasi massal dengan landasan teori yang benar termasuk dengan pembiayaan loan.
https://properti.kompas.com/read/2020/09/20/151903721/pemahaman-keliru-sistem-bus-rapid-transit