Hal ini tercantum dalam dua pasal RUU Cipta Kerja yakni Pasal 136 dan Pasal 137 ayat 1.
Pada Pasal 136 disebutkan, "Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Sarusun) yang selanjutnya disebut Hak Milik Sarusun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama."
Kemudian, Pasal 137 ayat 1 berbunyi, "Hak Milik sarusun dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warga Negara Asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, atau perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia."
RUU Cipta Kerja ini sekaligus merelaksasi aturan sebelumnya yakni UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok Agraria, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
Dalam PP ini disebutkan bahwa WNA hanya memperoleh Hak Pakai (HP) atas Sarusun.
Jelas, rencana Pemerintah ini didukung sejumlah pengembang dan juga pengamat properti.
Mereka meyakini, jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, akan dapat menarik minat investasi sekaligus membangkitkan sektor properti.
Direktur PT Jababeka Tbk Sutedja Sidharta Darmono mengatakan, RUU Cipta Kerja ini merupakan terobosan baru yang sangat positif dan dibutuhkan WNA agar dapat membeli properti di Indonesia.
"RUU Cipta Kerja ini merupakan penyempurnaan dari PP 103/2015. Saya mendukung terobosan baru ini yang memangkas persyaratan rumit yang harus dipenuhi WNA untuk membeli properti di Indonesia," ujar Sutedja kepada Kompas.com, Kamis (13/8/2020).
Sebelumnya, lanjut dia, PP Nomor 103/2015 yang berlaku tidak secara leluasa membebaskan WNA membeli properti karena masih banyak persyaratan yang sangat rumit untuk dipenuhi.
"Akhirnya banyak pengembang enggan membangun properti untuk WNA ini," ucap Sutedja.
"Namun meski demikian, Pemerintah secara paralel harus melakukan perbaikan dalam hal tata kota, waste management, air bersih, public transport, ruang terbuka hijau, area publik, fasilitas kesehatan, pendidikan, kesenjangan sosial, banjir dan lain-lain," terang Hendra.
Kota layak huni, imbuh dia, akan semakin menarik minat WNA dan ekspatriat untuk tinggal menetap lama di Indonesia. Dengan demikian, mereka tertarik untuk membeli properti.
Pemerintah juga harus memiliki data transparan terkait jumlah WNA/ekspatriat pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) yang bekerja di Indonesia, kebutuhan hunian mereka, dan juga jangka waktu tinggal mereka di Indonesia.
Data ini seyogyanya dapat diakses semua kalangan, termasuk oleh pengembang, sehingga mereka dapat membangun properti dengan jumlah unit sesuai kebutuhan.
"Hal ini untuk menghindari aksi spekulasi terkait investasi. Kalau WNA dan ekspatriat cuma mau investasi saja, lalu propertinya dijual atau disewakan kembali, percuma. Ini memicu aksi spekulasi," papar Hendra.
Jika seluruh faktor dari beragam pandangan tersebut dijalankan, fenomena kelebihan pasokan (over supply) yang terjadi di Kawasan Iskandar, Johor Bahru, Malaysia, tidak terulang di Jakarta.
Oleh karena itu, Pemerintah juga harus melengkapi RUU Cipta Kerja dengan izin tinggal yang saat ini hanya berlaku satu tahun bagi WNA pemegang KITAS.
Sebagaimana diusulkan Sutedja, bahwa izin tinggal WNA pemegang KITAS dibuat lebih lama yakni minimal lima tahun.
"Sebetulnya, ada beragam tipikal WNA di Indonesia. Sebagian memang sudah cinta dan ingin menetap karena itu mereka berharap dapat membeli properti dengan status Hak Milik. Namun ada juga WNA bertipe investor. Kebanyakan dari Singapura dan Malaysia," ungkap Restaditya.
Potensi penjualan Properti untuk WNA
Dari beragam pandangan ini, menarik untuk ditelisik, sejatinya berapa besar nilai penjualan yang bisa didapatkan jika RUU Cipta Kerja ini jadi disahkan DPR RI?
Sutedja menghitung, di Kota Jababeka saja terdapat sekitar 10.000 WNA. Dari jumlah ini sekitar 45-50 persen masih menyewa properti karena terbentur PP 103/2015 yang hanya memberikan mereka status HP.
"Dengan demikian ada potensi penjualan Rp 5 triliun untuk properti seharga Rp 1 miliar per unit. Ini kan devisa juga buat negara," cetus Sutedja.
Sementara Ryz Property Consulting menghitung WNA/Ekspatriat yang berhak membeli properti di Indonesia sekitar 100.000 orang, dengan potensi Rp 100 triliun.
Sedangkan menurut Leads Property, potensi penjualan properti tidak hanya dari tempat tinggal (hunian) yang bisa diakses WNA, melainkan juga komersial (terutama perkantoran).
Untuk apartemen, Hendra mengatakan, potensinya ada di segmen menengah atas dan atas.
Rinciannya, apartemen kelas menengah atas sebanyak 10.554 unit, dan kelas atas sejumlah 6.104 unit.
Khusus apartemen di CBD Jakarta, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan, dibanderol dengan rentang harga mulai dari Rp 10 miliar hingga tak terbatas.
"Ukuran apartemen yang diminati ekspatriat di ketiga kawasan ini rata-rata dua hingga tiga kamar tidur," kata dia.
Sementara untuk sektor perkantoran yang bisa dimiliki oleh Penanam Modal Asing (PMA) berada di CBD Jakarta baik Sudirman CBD, Kuningan CBD, maupun Thamrin CBD dan Koridor TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Dalam hitungan Leads Property, terdapat 457.490 meter persegi total unsold space perkantoran di CBD Jakarta.
Sementara angka penjualan (sales rate) berada di posisi 77,8 persen dari total 2.059.834 meter persegi dengan harga sekitar Rp 35 juta-Rp 80 juta per meter persegi.
Angka ini belum termasuk pasokan baru dari Thamrin Nine Tower 1 dan 2 seluas 470.000 meter persegi, dan Indonesia One-North Tower seluas 170.000 meter persegi.
Adapun ruang perkantoran yang belum terjual di Koridor TB Simatupang seluas 135.000 meter persegi atau 31,8 persen dari total pasokan 424.435 meter persegi.
Harga perkantoran di Koridor TB Simatupang ini mulai dari Rp 27 juta hingga Rp 35 juta per meter persegi.
https://properti.kompas.com/read/2020/08/13/132507021/menghitung-potensi-penjualan-properti-dari-kepemilikan-asing