Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, food estate merupakan proyek klaster untuk pengembangan sayuran, buah-buahan, dan aneka tanaman pangan sebagai kebutuhan utama masyarakat Indonesia.
Selain itu, Pemerintah juga akan membangun sarana produksi dan infrastruktur pertanian seperti embung dan irigasi.
Guna mendukung rencana tersebut, Pemerintah telah menyiapkan lahan potensial seluas 165.000 hektar yang merupakan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pengerjaan lahan mulai dilakukan pada tahun 2020.
Dengan demikian, pada tahun 2022 mendatang, produksi pangan di lahan tersebut bisa dioptimalkan.
Lokasi lumbung pangan baru yang juga merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) Tahun 2020 hingga 2024 tersebut berada di Kabupaten Pulang Pisau.
Dari total 165.000 hektar, lahan seluas 85.500 hektar di antaranya merupakan tanah fungsional yang siap digunakan untuk produksi setiap tahun.
Dari jumlah tersebut, 28.300 hektar masih dalam kondisi irigasi baik dan 57.200 hektar perlu dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi.
Sedangkan sisanya, yakni 79.500 hektar masih berupa semak belukar. Oleh karena itu, diperlukan pembersihan atau land clearing.
"Pengembangan program food estate ini akan dilakukan bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui skema investasi," cetus Basuki.
Namun, rencana ini mendapat tentangan dari aktivis lingkungan.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas N Hartono mengatakan, kondisi lahan eks PLG saat ini masih belum terpulihkan dan rentan terbakar.
"Kondisi eks PLG pun hingga saat ini masih belum terpulihkan. Karena hampir setiap tahun, lokasi eks PLG adalah lokasi yang rentan terbakar," kata Dimas kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).
Sebagai informasi, proyek PLG diinisiasi oleh Pemerintah pada era Presiden Soeharto. Proyek tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan swasembada pangan.
Akan tetapi, proyek ambisius itu terpaksa dihentikan pada 1999. Hal ini, karena terjadi berbagai kerusakan lingkungan akibat pembangunan kanal.
Pada akhirnya, proyek tersebut menyebabkan kekeringan dan kebakaran.
Manajer Kampanye, Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana menambahkan, pembukaan lahan secara khusus untuk kebutuhan pangan tidak pernah memiliki catatan kesuksesan.
Berdasarkan data Walhi, wilayah yang akan digunakan sebagai eks PLG menyumbang hampir 39 persen dari total kebakaran seluas 1.180 hektar di Kalteng selama periode tahun 2015-2019.
"Lokasi yang digunakan juga menjadi sumber-sumber atau titik panas kebakaran hutan. Dan itu jadi pekerjaan rumah (PR)," kata Wahyu.
Wahyu menyebut, ekosistem lahan gambut tidak bisa diperlakukan seperti tanah mineral.
"Gambut ini tanahnya unik. Tidak bisa serta merta kemudian semua benih dari Jawa cocok dengan tanah gambut," ucap Wahyu.
Penolakan pengembangan lumbung pangan di lahan eks PLG tersebut juga karena belum ada kepastian lokasi dari pemerintah.
Menurut Dimas, lahan bekas eks PLG tersebar di Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Barito Selatan.
Lahan tersebut terbagi menjadi lima blok, yakni Blok A, B, C, D, dan E. Namun hingga saat ini, lokasi pasti untuk food estate belum diketahui.
"Hingga saat ini tidak pernah disebutkan di blok mana," ucap Dimas.
Tidak ada kajian mendalam
Wacana mengenai pengembangan food estate di Kalteng, sejatinya sudah mengemuka sejak tahun 2017.
Saat itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng mengajukan beberapa wilayah untuk dijadikan lumbung pangan baru.
"Kami catat, Pemprov Kalteng sejak 2017 sudah meminta (dijadikan lumbung pangan baru)," ucap Wahyu.
Surat permintaan tersebut diajukan, karena menurut Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, lumbung pangan baru ini bertujuan untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi.
Lahan tersebut nantinya akan ditangani secara profesional dengan konsep pertanian modern.
Namun Wahyu menukas, alih fungsi lahan eks PLG menjadi food estate yang digarap dalam skala luas berpotensi mengubah lansekap serta berdampak signifikan pada lingkungan hidup.
Selain itu, ia juga menyayangkan tidak adanya kajian yang mendalam. Padahal, penetapan sebuah proyek dalam skala besar harus dilakukan dengan analisis dampak lingkungan dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
"Nah itu belum dilakukan tapi Pemerintah sudah melakukan penetapan kawasan, itu kan jadi masalah," jelas Wahyu.
Alih-alih melakukan kajian, Dimas menimpali, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan percepatan KLHS.
Prosedur ini disebut dilakukan tanpa melibatkan konsultasi publik.
"Rapid-KLHS ini kami belum dapat datanya, hasilnya. Tapi sepengetahuan kami saat ini hanya akan dilakukan sosialisasi. Bukan uji publik, tapi sosialisasi," ucap Dimas.
Dengan adanya sosialisasi, maka pemerintah sudah memutuskan kelangsungan proyek ini. Dimas menilai, prosedur ini tidak transparan karena tidak melibatkan peran serta masyarakat.
"Kalau uji publik kita melihat ada masukan-masukan dari masyarakat," tutur Dimas.
Tuntutan
Dampak selanjutnya dari proyek PLG juga terjadi pada masyarakat yang telah mengelola gambut dengan cara tradisional.
Lahan gambut, sebut Dimas, merupakan lumbung pangan untuk ikan-ikan air tawar dan sayuran lokal.
"Sebenarnya itu sudah dikelola oleh masyarakat, dan sekitar tahun 1997 kan memang sudah dirusak," tutur Dimas.
Setelah kejadian tersebut, upaya pemulihan dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan gambut.
Pemerintah sudah berupaya melakukan rehabilitasi pada lahan eks PLG melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Kemudian melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Negara pada saat itu menggelontorkan dana hingga Rp 3,9 triliun untuk merehabilitasi lahan eks PLG.
Namun hingga saat ini, dalam catatan Walhi, beberapa bidang lahan eks PLG masih mangkrak, ada pula yang sudah berubah menajadi perkebunan sawit.
Untuk itu, Walhi menuntut agar pengelolaan tersebut dikembalikan ke masyarakat. Gambut yang telanjur rusak, sebaiknya direhabilitasi. Sementara kubah-kubah gambut tidak dibuka kembali.
Walhi juga mendesak Pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal di berbagai daerah.
Proyek food estate sebaiknya dilaksanakan di lahan-lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) yang bermasalah atau di tanah telantar.
"Terus perhitungan lahan pertanian masyarakat itu diupayakan terus. Jangan sampai lahan masyarakat yang sudah ada itu terancam keberadaannya dan dialihfungsikan buat investasi skala besar lainnya," tuntas Dimas.
https://properti.kompas.com/read/2020/06/23/070000321/walhi-tolak-rencana-pengembangan-lumbung-pangan-baru-di-eks-lahan-gambut