Hal tersebut terjadi lantaran salah satu negara dengan pembelian properti terbesar di Thailand, China, mengalami penurunan ekonomi semenjak Corona mewabah.
Akibatnya, Thailand yang sektor propertinya bertumpu pada Negeri Tirai Bambu tersebut harus menelan kenyataan pahit.
Berbagai macam cara telah dilakukan oleh pengemban kondominium untuk menarik kembali para konsumen asal China, namun upaya tersebut tetap tak membuahkan hasil.
Di antaranya pemangkasan harga jual yang rata-rata pada kondisi normal senilai Rp 1,7 miliar kini dijual seharga Rp 1,3 miliar.
Sebagai contoh, hampir 12 warga asli Beijing, teman dari Bobby He, memiliki 3 unit kondominium per orang.
Teman Bobby membeli kondominium yang berlokasi di Bangkok, Phuket, dan Pattaya.
Namun, mereka hanya menempati satu unit, dan sisanya mereka jual atau sewakan kembali guna menunjang hidup pada masa pensiun nanti.
"Mereka berencana tidak membeli unit properti apapun lagi di Thailand. Jadi, satu untuk mereka masih dimiliki, sementara dua unit lainnya dijual atau disewakan untuk penunjang kehidupan mereka," ucap Bobby seperti dikutip dari Nikkei Asian Review, Jumat (12/6/2020).
Thailand diketahui memang memiliki kebijakan mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) membeli kondominium dengan porsi sebesar 49 persen dari jumlah kondominium yang tersedia di negara tersebut.
Namun, sejak pandemi Corona, ekonomi Thailand runtuh diikuti penurunan penjualan kondomium.
Pengembang di Thailand, AP Public Company Limited mengalami penurunan penjualan atas 'Aspire' sebanyak 40 persen atau sekitar Rp 283, 6 miliar dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Director of Research and Consultancy Knight Frank Thailand Risinee Sarikaputra mengungkapkan, butuh waktu dua tahun untuk meningkatkan tren penjualan unit kondominium seperti kondisi normal.
https://properti.kompas.com/read/2020/06/12/141927221/terlalu-bergantung-pada-china-pasar-kondominium-thailand-anjlok