BP Tapera nantinya mengeola dana peserta dengan cara diinvestasikan. Lembaga ini nanti akan bekerja sama dengan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Bank Kustodian, dan Manajer Investasi.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda berpendapat, Tapera seharusnya berperan sebagai lembaga nirlaba.
Dengan demikian, tidak diperlukan manajer investasi untuk mengelola dana Tapera. Penunjukkan manajer investasi sebagai pengelola dana memiliki risiko kerugian.
Pengelolaan dana yang diserahkan kepada manajer investasi, menurut Ali, membuat lembaga tersebut lebih berorientasi ke arah komersial.
Terlebih, potensi dana Tapera yang terkumpul dapat mencapai Rp 50 triliun setahun.
"Bila hasil kelola merugi maka berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi," kata Ali dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Kamis (4/6/2020).
Selain itu, dia menyebut, biaya yang dikeluarkan untuk manajer investasi, biaya karyawan, operasional, dan lainnya membuat beban menjadi lebih tinggi.
Hal ini dikhawatirkan akan semakin membebani Pemerintah.
Tak hanya soal penunjukkan manajer investasi. Ali menyoroti pengawasan lembaga ini. Pengawasan seharusnya melibatkan peserta Tapera, dalam hal ini masyarakat, profesional, dan para pengusaha.
"Dengan kelolaan manager investasi dapat bertendensi ke arah komersial dengan bancakan pihak-pihak tertentu," ucap dia.
Oleh karenanya, dia meminta kepada Pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera dari sisi pengawasan.
Dengan demikian, pelaksanaan dan pengelolaan dana dapat dilakukan dengan jujur serta transparan.
Sebagai informasi, PP Penyelenggaraan Tapera ini mengatur proses pengelolaan dana Tapera yang mencakup kegiatan pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta.
Besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Adapun dasar perhitungan untuk menentukan gaji ditetapkan sama dengan program jaminan sosial lainnya, yakni maksimal Rp 12 juta.
Kritikan juga disampaikan Ketua DPD REI Jawa Barat Joko Suranto.
Menurut dia, Pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan dan tidak berupaya memperbaiki kekurangan.
PP Tapera dinilainya bagus sebagai landasan operasional BP Tapera, namun ini bukanlah solusi yang menguntungkan para pihak yang terlibat dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai kelompok sasaran.
"Mekanisme dan besaran pungutan iuran juga harus ditinjau kembali. Komposisi 2,5 persen pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja itu makin membebani," kata Joko.
Pemerintah juga harus berpikir solutif bahwa yang menjadi masalah fundamental dari pengembangan rumah murah untuk MBR terutama saat Pandemi Covid-19 ini adalah kurangnya stimulus dan relaksasi perbankan.
"Akses MBR, baik pekerja maupun pekerja mandiri haruslah dibuka seluasnya. Bukan malah diperketat. Ini justru akan menghambat sektor perumahan rakyat," imbuh Joko.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya fokus pada perbaikan layanan perbankan untuk pasar rumah MBR.
Layanan perbankan harus tepat sasaran, efektif, efisien, taktis, dan merangkul seluruh pekerja, baik formal maupun mandiri.
"Pemerintah jangan lagi menjadikan pembangunan dan target Program Sejuta Rumah sebagai alasan di balik regulasi yang masih bercelah, supply ini aman. Yang nggak aman adalah tingkat serapannya, karena dihambat bank," tuntas Joko.
https://properti.kompas.com/read/2020/06/04/180000421/pengelolaan-dana-tapera-menuai-kritik