Ojek saat ini bukan hanya berguna mengantar penumpang tetapi juga sudah melayani jasa pengiriman barang hingga pembelian makanan.
Namun dengan adanya pandemi Covid-19, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Salah satu aturannya adalah membatasi jarak dalam angkutan umum.
Menurut Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno serta Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Felix Iryantomo, aturan itu membuat dilema.
Angkutan seperti kereta api, bus, hingga taksi masih memungkinkan untuk mengangkut penumpang, namun tidak dengan ojek.
Meski secara hukum tidak diakui sebagai angkutan umum, nyatanya, masyarakat memanfaatkannya sebagai salah satu moda transportasi.
Adanya kebijakan tersebut menutup kesempatan ojek untuk mengangkut penumpang.
"Karena dinilai tidak memungkinkan menerapkan jaga jarak social antara pengemudi dan penumpangnya," ujar Djoko dan Felix dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Selasa (2/6/2020).
Dengan kondisi tersebut, keduanya menyarankan Pemerintah merancang kembali angkutan alternatif yang dapat menggantikan peran ojek.
Angkutan tersebut harus mampu menidiakan ruang atau jarak antara pengemudi dan penumpang.
Apabila memungkinkan, maka dapat dipasang sekat atau pemisah secara permanen.
"Sehingga masing-masing pihak dapat merasa terjaga kesehatannya," tutur Djoko.
Memanfaatkan kendaraan roda tiga
Djoko menambahkan, sebenarnya saat ini tidak sulit merancang angkutan pengganti ojek.
Menurutnya, masih ada kendaraan yang eksis di kota-kota besar yang memenuhi unsur-unsur keamanan.
Angkutan tersebut adalah bajaj. Kendaraan roda tiga ini memberi ruang antara penumpang dan pengemudi.
Tak hanya di ibu kota, angkutan sejenis yakni bentor juga ditemukan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Selain itu, di dalam kendaraan bisa dipasang sekat permanen, sehingga tercipta jarak sosial. Kendaraan ini juga mampu mengangkut penumpang lebih dari satu orang.
"Sehingga bajaj dapat disebut juga sebagai moda angkutan alternatif yang lebih manusiawi," kata dia.
Akan tetapi, moda transportasi ini juga memiliki kelemahan. Menurut Djoko, jumlah armada bajaj saat ini masih terbatas dan tidak sebanyak sepeda motor.
Selain itu, pembatasan wilayah operasi membuat pergerakan bajaj tidak seleluasa ojek.
Kemudian, pada setiap kendaraan bisa dipasang meteran penghitng ongkos atau argometer.
Bahkan bukan tidak mungkin, masyarakat bisa menggunakan metode pembayaran non-tunai atau memesannya secara daring.
Djoko mengatakan, cara ini telah diterapkan di ibu kota Srilanka, Colombo.
Lalu bagaimana menerapkan solusi tersebut?
Djoko dan Felix mengungkapkan, hal tersebut tidak sulit diterapkan.
Pemerintah bisa menggandeng perusahaan penyedia atau produsen kendaraaan, organisasi angkutan darat atau Organda, perbankan, sekaligus perusahaan penyedia aplikasi pemesanan daring.
Penerapan kebijakan ini kemungkinan memunculkan tantangan dari pihak penyelenggaran ojek.
Tetapi, hal tersebut bisa diatasi dengan memberi kesempatan bagi para pengendara untuk melakukan konversi dari sepeda motor ke bajaj.
Pemerintah juga disarankan membentuk tim khusus dari berbagai lembaga maupun kementerian agar tidak mengambil keuntungan sektoral.
"Sehingga dengan niat baik dalam rangka menerapkan angkutan yang sehat dan manusiawi serta modern dapat terwujud," ucap Felix dan Djoko.
https://properti.kompas.com/read/2020/06/02/194314521/bajaj-angkutan-alternatif-pengganti-ojek-daring