Akibatnya, banyak fasilitas publik yang terpaksa memperpanjang penutupan operasionalnya untuk sementara, seperti perkantoran, mal, dan sekolah.
Namun, bagaimana jika PSBB berakhir? Berdamai dan hidup bersama Covid-19 tak terelakkan. Hal ini karena kasus terinfeksi di Indonesia terus bertambah.
Di sisi lain, sektor ekonomi dan bisnis tak bergerak dengan konsekuensi puluhan juta pekerja terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena itulah, wacana untuk melonggarkan PSBB mengemuka. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan bahwa masyarakat Indonesia harus siap untuk terbiasa menghadapi virus ini.
Jokowi mengatakan hal ini berdasarkan pernyataan Organsisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Covid-19 tidak akan benar-benar bisa hilang.
Terkait hal tersebut, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia dan Knight Frank merekomendasikan sejumlah langkah dan upaya yang harus dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19 makin meluas.
Keduanya menawarkan solusi kepada pengelola gedung perkantoran, baik di central business district (CBD) Jakarta, non-CBD, maupun di kota-kota lainnya.
Para pengelola atau manjemen gedung perkantoran, perusahaan penyewa, dan karyawannya harus terbiasa hidup dalam kebiasaan baru.
Teknologi informasi (TI) yang diterjemahkan ke dalam kemudahan mendapatkan dan mengelola informasi, dan kemudahan pengelolaan gedung dalam konsep smart and green building, adalah kebutuhan utama dalam menghadapi new normal ini.
Terlebih lagi, sebelumnya masyarakat sudah akrab dengan pola kerja dari rumah atau work from home, yang membutuhkan internet of things (IoT) dengan kecepatan tinggi dan segala kemudahan lainnya.
Selain itu, pengelola gedung perlu membuat perencanaan strategis di tempat kerja, termasuk memutuskan jumlah dan karyawan divisi mana yang harus mendatangi kantor hanya untuk keperluan penting.
"Di sini, kantor digunakan hanya sebagai ‘pilihan’ untuk memenuhi keperluan yang sangat penting. Maka dari itu, perlu peran TI untuk mendukung kerja jarak jauh," kata Associate Director dalam laporannya kepada Kompas.com, Sabtu (16/5/2020).
Satu hal menarik dari hasil studi Knight Frank dalam dua bulan terakhir adalah, resizing ruang perkantoran.
Resizing di sini bukan berarti memperkecil ruang perkantoran yang disewa, melainkan mengubah fungsi, tata letak, dan keutamaan (vitalitas), dengan penekanan pada efisiensi dan efektivitas.
Head of Property and Asset Management JLL Naomi Santosa menambahkan, manajemen harus ikut mengakomodasi kebiasaan baru ini.
Mereka bisa membuat aturan gedung yang memprioritaskan kesehatan, keselamatan, dan kesiapan untuk setiap penghuni.
"Misalnya, pemeriksaan suhu tubuh maupun penggunaan masker," ucap Naomi saat konferensi daring, Jumat (10/5/2020).
Berikut rekomendasi yang perlu diperhatikan pengelola gedung:
2. Perencanaan strategis tempat kerja dengan memperhatikan rasio ruang area publik, kepadatan dan jarak antara pekerja, faktor health, safety, and environment (HSE), dan kesehatan.
3. Sirkulasi perkantoran menyangkut udara, orang, dan pencahayaan alami. Pengelola menetapkan aturan kontak minimum dengan menggunakan fitur otomatis di lingkungan tempat kerja, dan ruang komunitas.
4. Panduan kebersihan gedung yang siap beroperasional, seperti pembersihan reguler, pembersihan mendalam (deep-cleaning), penyemprotan disinfektan di setiap area gedung ataupun tempat yang sering disentuh.
6. Loker surat yang masuk steril dengan dilapisi plastik sebagai wadah perpindahan. Sebab, ada proses perpindahan tangan dari satu orang ke lainnya.
7. Jadwal kehadiran setiap karyawan 50 persen bekerja di kantor dan 50 persen karyawan bekerja di rumah.
8. Setiap tempat duduk di area kerja gedung perkantoran perlu diberi pembatas antara satu orang dan lainnya.
9. Pada ruang konferensi, pengelola perlu membatasi penerimaan tamu di setiap meja resepsionis.
10. Setiap karyawan gedung wajib memakai masker dan setiap orang harus menggunakan hand-sanitizer.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/16/172534421/new-normal-di-kantor-apa-yang-harus-dilakukan-manajemen