Pagi hari sejak pukul 06.30–08.00 WIB atau 1,5 jam, terdapat 10 penerbangan saat jam puncak atau peak hour yang tidak memperhatikan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Penumpang pesawat berjubel tanpa jarak. Mereka mengantre untuk verifikasi dokumen-dokumen izin melakukan perjalanan sesuai Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020.
Bila saat itu ada 10 penerbangan menggunakan pesawat B737 atau A320 pada saat puncak yang sama, maka terdapat minimal 800 penumpang atau 50 persen dari kapasitas duduk yang menumpuk di ruang tunggu.
Ternyata, tidak hanya di stasiun KRL, blunder juga terjadi di bandara yang dikelola oleh PT Angkasa Pura II (Persero). Blunder ini boleh dibilang kegagalan penerapan PSBB.
Kita juga sama-sama tidak mengetahui apakah dokumen-dokumen prasyarat yang dibawa itu asli dari rumah sakit atau tidak.
Bagaimana bila dokumen tidak asli, dan kemudian penumpang tersebut adalah orang tanpa gejala (OTG) melintasi kerumunan di bandara?
Tentu risikonya sekitar radius dua meter yang dilintasinya akan menjadikan penumpang lain sebagai kelompok orang dalam pengawasan (ODP).
Kita kembali bersedih karena ternyata dokumen kesehatan bebas Covid-19 dan surat perjalanan dinas (SPD) bisa diperjualbelikan di pasar daring.
Terdapat temuan juga salah satu maskapai tidak mengindahkan aturan, bahwa pesawatnya mengangkut lebih dari 50 persen penumpang.
Padahal aturan PSBB Kemenkes mengharuskan pemenuhan angkutan umum maksimal yang diizinkan 50 persen dari kapasitas tempat duduk.
Sangat mudahnya dokumen prasyarat perjalanan semasa PSBB itu dibuat/didapatkan dan kurangnya pengawasan kapasitas tempat duduk melebihi 50 persen dijual tersebut harus ditinjau ulang.
Menurut rilis PT Angkasa Pura II (Persero), terjadinya penumpukan penumpang berlebih karena jam perjalanan yang sama.
Persoalan ini seharusnya bisa diatasi pihak bandara, melalui pengaturan slot penerbangan dengan headway yang lebih lebar.
Kendati destinasi penerbangan berbeda-beda dalam satu terminal namun check point dilakukan tetap bersama-sama atau berbarengan dalam bilik boarding yang sama.
Inilah yang menjadi blunder penumpukan penumpang tanpa pengawasan PSBB.
Demikian juga apabila PT Angkasa Pura II (Persero) menyebutkan jumlah petugas yang kurang dalam pengawasan, tentunya pihak bandara dapat menambah personel yang cukup untuk melakukan pengawasan terhadap penumpang yang antre boarding document check.
Flow boarding juga bisa diatur sesuai jeda jam perjalanan yang lama, jadi tidak semua penumpang diizinkan memasuki ruang boarding yang membuat berjubel dan menumpuk.
Bila memang tempat/ruangnya kurang luas di dalam ruang boarding, kegiatan cek dokumen prasyarat perjalanan dapat dilakukan di zona publik terminal (di luar).
Selanjutnya apabila penumpang telah memenuhi persyaratan perjalanan dapat melanjutkan boarding ticket ke dalam terminal.
Petugas pemeriksa dokumen prasyarat perjalanan diharapkan berasal dari institusi independen atau gugus tugas Covid-19 itu sendiri, supaya tidak ada kepentingan bisnis.
Operator bandara dan operator pesawat hanya bertugas mengatur tiket dan perjalanan setelah mendapat dari pengesahan checker (pemeriksa dokumen) perjalanan yang independen itu.
Selanjutnya Direktorat Perhubungan Udara telah mengeluarkan press release yang akan memberikan ancaman sanksi kepada operator penerbangan yang melanggar protokol PSBB.
Ancaman sanksi ini tidak akan terjadi apabila operator penerbangan siap menerima perjalanan “mudik” sesuai aturan PSBB.
Nampaknya antara pembuat kebijakan (regulator) dan pelaksana teknis (operator) belum ada sinkronisasi mengenai aturan pelaksanaan “mudik” berdasarkan protokol kesehatan, kenyataan ini terbukti karena lemahnya pengawasan di lapangan itu sendiri (di bandara).
Sebenarnya Pemerintah tegas tetap melarang mudik selama masa PSBB ini, namun ironisnya masih dikeluarkan aturan mudik yang diterbitkan oleh Pemerintah sendiri melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Di sinilah ketegasan pelarangan mudik pemerintah dikaji kembali. Setelah terjadi polemik berkepanjangan antara pulang kampung (pulkam) yang diperbolehkan sedangkan mudik tidak diperbolehkan.
Hal ini, sangatlah menyita energi yang tidak substansial karena memang tidak ada nomenklatur antara pulang kampung dan mudik itu sendiri.
Yang membedakan dalam konteks pulang kampung dan mudik adalah kebiasaan atau budaya. Pulang kampung biasanya kembali atau tidak kembali lagi sedangkan mudik pasti kembali lagi (ada balik).
Namun kedua term budaya perjalanan itu telah menjebak masyarakat yang ingin melakukan mudik tapi dilarang.
Sehingga Pemerintah akhirnya kembali tegas melarang mudik tetapi pemerintah juga melakukan relaksasi (pelonggaran ) diizinkan mudik hanya untuk kegiatan bekerja dan kegiatan mengantar pasien sakit.
Di lingkup ini pemerintah kembali blunder menggunakan istilah “mudik” yang diizinkan dengan syarat-syarat tertentu.
Istilah yang tepat adalah “perjalanan diizinkan meninggalkan/masuk dari/ke wilayah PSBB dengan syarat-syarat tertentu.
Jadi tidak menggunakan istilah “mudik”, sehingga masyarakat tidak mencari pembenaran lagi untuk melakukan kegiatan mudik.
Terlebih H-7 Lebaran secara tradisi umumnya masyarakat mulai banyak melakukan mudik lebaran.
Maka kita sangat berharap pemerintah untuk lebih siap dan sigap lagi untuk menghadapi banjirnya masyarakat yang ingin “mudik” atau yang lebih tepat meninggalkan wilayah PSBB terutama di bandara, stasiun dan terminal bus.
Khusus perjalanan menggunakan bus perlu perhatian khusus selama PSBB ini karena tidak semua bus eksekutif berangkat dari terminal namun ada berangkat dari pool-pool/agen-agen bus.
Memang sektor transportasi hanyalah hilir secara teknis dalam penyebaran virus Covid-19, yang utama adalah niat masyarakat (hulu) untuk mencegah penyebaran virus tersebut.
Bila kita ingin cepat selesai Pandemi Covid-19 tentunya semua lapisan masyarakat harus patuh terhadap aturan PSBB.
Semua stakeholder termasuk pemerintah tidak lagi ada ego-sektoral karena dalam kondisi pandemi penyakit ini panglimanya adalah Kemenkes yang secara teknis telah dibentuk Gugus Tugas melalui BNPB.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/15/121525521/bahaya-bila-bandara-soekarno-hatta-belum-siap-mudik-ala-psbb