JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan mudik tetap dilarang. Tetapi pergerakan orang dengan kepentingan khusus masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Hal ini tercatat dalam Surat Edaran Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Beberapa persyaratan dan protokol tertentu itu dikhususkan untuk tiga kelompok khusus, seperti lembaga pemerintah atau swasta yang melakukan perjalanan untuk enam jenis pelayanan.
Antara lain pelayanan percepatan penanganan Covid-19, pertahanan, kemanan, dan ketertiban umum, kesehatan, kebutuhan dasar, pendukung layanan dasar dan fungsi ekonomi penting.
Kedua, untuk pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga intinya seperti orangtua, suami atau istri, anak, saudara kandung yang sakit keras atau meninggal dunia.
Dan ketiga, untuk repratiasi pekerja migran (PMI), WNI dan pelajar dan mahasiswa yang berada di luar negeri, serta pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah sampai daerah asal.
Menurut Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno, sesungguhnya tidak ada hal baru dengan dikeluarkannya Surat Edaran tersebut.
"Selama ini juga sudah berjalan pengecualian untuk kepentingan tertentu. Namun, mudik memang tetap dilarang," ujar Djoko dalam siaran resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (7/5/2020).
Namun, menurut Djoko ada sejumlah warga yang tidak masuk dalam kategori yang telah dijelaskan dalam persyaratan khusus tersebut.
Kategori tersebut adalah menyangkut orang miskin yang perlu mendapat bantuan sosial dan sembako di tengah merebaknya wabah virus Corona seperti sekarang ini.
Kelompok ini sekarang yang semula mandiri dengan penghasilan harian, sekarang sudah melarat menju sekarat.
"Jika pemerintah menghendaki agar mereka tidak mudik, maka berikanlah jaminan hidup berupa bantuan logistik selama berada di perantauan," lanjutnya.
Tak hanya itu, Djoko juga menyebutkan bahwa para pekerja konstruksi perlu masuk dalam persyaratan tersebut.
Menurutnya, para pekerja konstruksi mayoritas berasal dari luar wilayah Jabodetabek. Selama musim Lebaran ada jeda waktu sekitar dua minggu tidak bekerja.
"Apakah mereka ini diizinkan pulang kampung atau tetap berada di tempat tinggal sekarang. Lantas, siapa yang akan menanggung biaya hidup selama dua minggu tersebut?" tanya Djoko.
Djoko memperkirakan, kelompok pekerja mandiri termasuk buruh konstruksi perantauan yang belum tertangani jaminan logistik dan masih berada di Jabodetabek sekitar 1 juta orang.
Di sisi lain, pemerintah daerah kini sudah tidak lagi menyiapkan untuk menerima pemudik.
Aparat pemerintah daerah sudah sibuk dengan urusan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah masing-masing.
"Oleh karena itu, Pemerintah harus memperhatikan perantauan dengan pekerjaan mandiri yang jumlahnya mencapai sekitar 1 juta orang itu." tuntas Djoko.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/07/203705021/pemerintah-harus-menjamin-hidup-1-juta-perantau-mandiri-nyaris-melarat