Rumah adat tersebut muncul dan berkembang dari Rumah Adat Jawa tipe Joglo di Kudus yang terus mengalami perubahan filosofi dan fisik.
Perkembangan RAK pun tak terlepas dari pengaruh budaya Hindu, Budha, China, Islam, dan sedikit budaya Eropa.
Penulis dan penggagas buku Gebyok Ikon Rumah Jawa, Triatmo Doriyanto mengatakan, meski sudah dikenal, namun belum banyak orang yang tahu asal mula partisi ini.
Menurutnya, gebyok bukan karya ukir semata. Gebyok adalah hasil sebuah proses akumulasi perjalanan sejarah, pertemuan budaya, agama, dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
"Dalam sejarahnya, banyak tokoh yang menjadi pelopor dan arsitek dari gebyok yang menjadi ikon dari rumah Jawa, hingga bentuknya sekarang ini, yaitu hasil pengembangan oleh para ahli pertukangan dari masa ke masa, mulai dari Kudus dan Jepara," ucap Triatmo dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Sabtu (2/5/2020).
Awal mula gebyok
Triatmo melanjutkan, ada sejumlah tokoh yang berperan dalam mengembangkan gebyok.
Mereka adalah Sun Ging Ang, The Ling Sing atau Kyai Telingsing, dan Cie Swie Guan yang juga dikenal dengan nama Sungging Badar Duwung.
Sun Ging Ang, selain menyebarkan agama Islam di Kudus juga disebut mengajarkan keterampilan mengukir.
Sama seperti Sun Ging Ang, The Ling Sing juga meneruskan keterampilan ayahnya dalam mengembangkan seni ukir di Kudus, di samping menyebarkan agama Islam.
Sementara di Jepara, Cie Swie Guan mengembangkan seni ukir dan membangun Masjid Mantingan di Demak.
Triatmo menambahkan, 2,5 abad kemudian, seorang tokoh bernama Rogomoyo turut meneruskan keterampilan seni ukir dan pertukangan di Desa Kaliwungu, Kudus.
Tak berhenti di situ, gebyok dan seni ukirnya terus berkembang. Tokoh lain yang memperkenalkan seni ini adalah RA Kartini yang berhasil mengangkat seni tersebut ke sebuah pameran di Den Haag, Belanda.
Bahkan, Kartini juga disebut turut menciptakan motif ukir khas Jepara. Ia turut mendorong para pengukir dengan mempromosikan hasil karya mereka kepada teman-temannya di Belanda.
"Hingga seni ukir Jepara tersohor tak hanya di Indonesia tetapi sampaii ke seluruh dunia," ucap penulis lainnya, Eunike Prasasti.
Perkembangan gebyok
Seiring perkembangan zaman, gebyok mulai mengalami kemunduran. Keberadaannya pun sudah berkurang bahkan terancam punah.
Triatmo menuturkan, di Kudus, keberadaan rumah adat khas daerah itu kini sulit ditemukan. Jumlahnya pun juga tinggal beberapa unit di kudus.
Selebihnya, rumah-rumah adat itu sudah diperjualbelikan baik secara utuh sebagai RAK maupun secara parsial dalam bentuk sebuah gebyok. Padahal, gebyok sebagai bagian inheren dan tak terpisahkan dari RAK.
Meski demikian, saat ini gebyok berkembang dengan beragam motif dan jenis yang dipengaruhi oleh asal-usul daerahnya.
Tak hanya itu, tingkatan sosial masyarakat juga memengaruhi keanekaragaman gebyok, seperti motif hingga teknik ukirnya.
Oleh karenanya, gaya dan motif gebyok tak selalu berasal dari sebuah daerah tertentu namun bisa juga dari wilayah lain.
Seperti contohnya gebyok Kudusan tak selalu berasal dari daerah Kudus, tetapi bisa dibuat di beberapa daerah di Jawa Timur.
Triatmo juga mencatat, jika pada zaman dulu penyebaran gebyok terjadi karena syiar agama, saat ini penyebarannya terjadi atas permintaan pasar.
Hal ini membuat gaya dan motifnya terus berkembang, termasuk jenis pemanfaatannya.
Pengakuan warisan budaya
Gebyok saat ini ada yang digunakan secara utuh sebagai RAK, tetapi juga digunakan secara parsial baik sebagai pintu gerbang, pelaminan, elemen interior bangunan, hingga hiasan semata.
Oleh karenanya keistimewaannya, RAK saat ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016.
Kemendikbud mencatat, RAK merupakan warisan budaya yang memiliki gaya seni dari perpaduan budaya pra-Islam, China, dan Islam di Kudus.
Lalu setahun kemudian, RAK ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud dalam dominan keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.
Meski telah ditetapkan sebagai warisan budaya, sayangnya gebyok masih dianggap sebagai satu kesatuan dengan RAK dan tidak disebutkan sebagai warisan budaya yang terpisah.
Hal ini, menurut Triatmo, tidak memberikan kekuatan yuridis dan pengakuan budaya terhadap gebyok sebagai ikon dan penopang RAK itu sendiri.
Akibatnya, gebyok sebagai bagian dari budaya tidak dianggap ada. Pemiliknya pun bebas dan leluasa membawa gebyok dan memperjualbelikannya.
Menurut Triatmo, bukan tak mungkin, ke depannya gebyok bisa diakui oleh bangsa lain, apalagi jika mereka merasa memiliki akar budaya yang hampir sama.
Untuk itu, dia berharap gebyok sebagai ikon dari rumah Jawa bisa dijadikan warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/03/070000321/gebyok-partisi-lintas-budaya-agama-dan-sejarah-indonesia