JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengusulkan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun.
Usulan ini tercantum dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja Bab Pertanahan Pasal 127.
Dalam pasal tersebut tertulis bahwa badan bank tanah memiliki hak pengelolaan (HPL) tanah. Bank tanah juga dapat merekomendasikan penerbitan hak atas tanah seperti HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Pakai (HGP).
Tak hanya itu, untuk mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah juga diberikan beberapa kewenangan terhadap lahannya.
Badan bank tanah berwenang melakukan penyusunan rencana zonasi, membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha atau persetujuan, serta melakukan pengadaan tanah dan menentukan tarif pelayanan.
Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks menyatakan dalam konteks ini, jika dilakukan secara konsisten dengan perhitungan yang wajar, dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak merugikan negara.
"Karena apa yang diperoleh oleh bank tanah sebagai pemegang HPL, bisa didistribusikan kembali untuk kepentingan masyarakat, sesuai tujuan dibentuknya badan bank tanah," tutur Eddy menjawab Kompas.com, Jumat (1/5/2020).
Kepentingan masyarakat yang dimaksud di antaranya untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Di sisi lain, Eddy juga menyebutkan bahwa pasal 127 tersebut tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 130 ayat (2) dan Pasal 131 RUU Cipta Kerja.
Pasal tersebut mengatur penentuan tarif dan penerimaan uang pemasukan ganti rugi dan atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
Bank tanah sebagai pemegang HPL, akan membuat perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak yang akan memperoleh hak atas tanah.
"Dalam perjanjian itu akan ada pengaturan mengenai uang pemasukan ganti rugi dan atau uang wajib tahunan yang dibayar selama jangka waktu 90 tahun tersebut," jelas Eddy.
Eddy juga menyinggung tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak setuju terhadap usulan RUU yang dianggap tidak memiliki korelasi dengan investasi.
Menurut Eddy, MK memang memberi pertimbangan dan putusan dalam konteks UU Penanaman Modal, yang mengatur tentang perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah agar bisa disetujui sekaligus di muka.
Namun, aturan yang dibahas dalam RUU Cipta Kerja tidak sepenuhnya sepadan dengan apa yang dipertimbangkan oleh MK.
"Karena apa yang diatur pada pasal 127 itu spesifik hak atas tanah yang terbit di atas HPL, dan yang dipegang oleh badan bank tanah bukan oleh sembarang instansi pemerintah atau pemegang HPL lainnya," ujar Eddy.
Dengan kata lain, apa yang diatur dalam RUU Cipta Kerja tidak merujuk pada semua jenis hak atas tanah, tetapi hanya hak atas tanah yang terbit di atas HPL yang dipegang oleh badan bank tanah.
Selain itu, Eddy juga menyarankan agar pemerintah dapat memberikan penjelasan secara komprehensif kepada publik, tentang bagaimana sebenarnya rencana pemerintah dalam aspek pertanahan dalam RUU tersebut.
"Khususnya yang dianggap sebagai poin kontroversial, meresahkan, atau membingungkan publik. Publik juga perlu mengetahui secara konkret kegiatan operasi dari bank tanah dan road map-nya pada masa depan," cetus Eddy.
Dia berharap dengan langkah itu, publik dapat memahami pengaturan-pengaturan khusus yang dianggap beda dengan sebelumnya di dalam RUU Cipta Kerja.
"Jadi, meski tidak ada kerugian Negara yang ditimbulkan, namun tidak serta merta saya mendukung HGU 90 tahun dalam RUU Cipta Kerja," tutup Eddy.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/01/164115121/pengamat-hukum-pertanahan-hgu-90-tahun-tidak-merugikan-negara