Meski telah diterapkan, namun transportasi kereta rel listrik Jabodetabek masih beroperasi.
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menerapkan PSBB ternyata tidak menyurutkan pekerja dari wilayah penyangga bepergian ke ibu kota.
Namun masih ada beberapa sektor yang dikecualikan dalam PSBB. Para pekerja dari sektor tersebut masih harus bergerak dan tidak bisa dihentikan.
Tak hanya itu, SE Menperin Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Vorus Disease 2019 membuat banyak pabrik termasuk 200 industri non esensial tetap beroperasi.
Oleh karenanya, mereka masih membutuhkan transportasi umum, salah satunya KRL. Namun penyesuaian jam operasional dan jumlah penumpang, menyebabkan KRL sebagai moda transportasi favorit masih dipadati pelaju setiap pagi dan sore.
Seperti diketahui, KRL hanya beroperasi mulai pukul 06.00-18.00 WIB. Operator juga menerapkan skema operasi 683 perjalanan per hari, dengan volume 1 kereta maksimal diisi 60 orang dengan jarak 1 meter- 2 meter.
Kondisi ini menyebabkan munculnya wacana untuk menghentikan sementara operasionalisasi KRL.
Usulan ini disebut bisa menjadi salah satu pilihan realistis dalam upaya menekan persebaran Covid-19.
Akan tetapi menurut akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno serta Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (Instran) Felix Iryantomo, jika KRL tidak beroperasi sementara waktu, maka Pemerintah harus mempertimbangkan nasib sekitar 7.000 pegawai berstatus outsourcing.
"Apakah ada pihak mau menanggung biaya hidupnya selama KRL tidak dioperasikan?" tulis Djoko dan Felix dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (20/4/2020).
Djoko dan Felix memberikan dua solusi atas keadaan ini. Pertama, Pemprov DKI harus mendata jumlah dan lokasi usaha yang masih diizinkan beroperasi.
Keduanya menyarankan, jika sejumlah tempat usaha masih tetap beroperasi, maka mereka wajib memberikan fasilitas kendaraan antar jemput atau penginapan.
"Ada yang melanggar diberikan sanksi, yakni Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," tulis Djoko dan Felix.
Pasal dalam UU tersebut menyebutkan, setiap orang yang tiidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Saran kedua adalah dengan memperbaiki frekuensi KRL atau dengan menambah kapasitas. Adapun caranya adalah dengan menambah waktu operasi KRL yang awalnya pukul 06.00-18.00 WIB menjadi 05.00-19.00 WIB.
Menurut mereka, penyesuaian ini juga diterapkan di MRT Singapura untuk mencegah kepadatan massa.
"Sesungguhnya yang harus dihentikan adalah kegiatan, bukan aktivitas transportasi. Intinya adalah bagaimana mengelola demand atau kegiatan di Jakarta," tulis mereka.
https://properti.kompas.com/read/2020/04/20/170000121/solusi-transportasi-selama-psbb