Kerusakan jalan yang begitu cepat pasti akan menguras APBN dan APBD yang sebenarnya dapat digunakan untuk program lainnya.
Belum lama ini, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya meluapkan kekesalannya terhadap pengemudi muatan tanah yang melintas di Kampung Pasir Buah, Kecamatan Curugbitung.
Mobil truk dihentikan karena merusak dan mengotori jalan serta mengakibatkan jembatan Cibeureum rusak berat dan berlubang.
Pembangunan jembatan ini dibiayai APBD Kabupaten Lebak senilai Rp 50 miliar. Jembatan ini akhirnya ditutup untuk diperbaiki dan tidak dapat dilewati warga untuk sementara waktu.
Tentunya penutupan jembatan ini sangat mengganggu aktivitas warga, karena tidak dapat melakukan mobilasi dengan lancar.
Rangkaian berikutnya, perekonomian warga pasti terganggu, harga barang akan melonjak karena ketidaklancaran distribusi barang dan orang akibat infrastruktur jalan dan jembatan yang rusak.
Tak hanya Kabupaten Lebak, wilayah lain pun pasti mengalami hal serupa. Menurut Stastitik Perhubungan 2018, distribusi angkutan barang berdasarkan moda di Indonesia, terbanyak menggunakan angkutan jalan (truk) 91,25 persen.
Kemudian diikuti angkutan laut (kapal batang) 7,07 persen, angkutan penyeberangan (ferry) 0,99 persen, kereta api 0,63 persen, angkutan udara (pesawat) 0,05 persen dan angkutan sungai (perahu) 0,01 persen.
Keunggulan menggunakan moda truk adalah aksesibilitas, cepat dan responsif. Namun, hingga sekarang masih ada masalah untuk ODOL.
Permasalahan over dimension, ditandai masih banyak ditemukan truk yang beroperasi mengangkut muatan dengan ukuran melebihi kapasitas yang ditentukan.
Selanjutnya, masih ditemukan ketidaksesuaian antara fisik kendaraan bermotor dengan dokumen, seperti Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT) atau Buku Uji, serta masih ditemukan buku KIR palsu; penindakan hukum terkait pelanggaran modifikasi kendaraan masih lemah.
Sementara, permasalahan over loading, ditandai pelanggaran muatan dengan bobot lebih dari 100 persen dari yang diizinkan atau rata–rata dari kendaraan 2 sumbu, 3 sumbu atau lebih adalah berkisaran pada 20 ton per sumbu
Selain itu, denda yang diberikan oleh pengadilan bukan merupakan denda maksimal; dan isu yang berkembang terkait over loading dilakukan oleh Pemilik Barang, bukan oleh Transporter atau pemilik armada.
Jika melintas di jalan tol, kendaraan ODOL dapat menghambat arus kendaraan serta dapat menimbulkan kecelakaan, akibat jumlah muatan yang berlebih, sehingga kecepatan tidak dapat optimal. Rata-rata tidak lebih dari 40 kilometer per jam.
Sementara menurut Setiawan B (2019), pengendalian ODOL melalui penertiban angkutan barang akan berdampak pada kenaikan harga produk minimal 18 persen (tetapi tergantung pada komoditas, tujuan atau jarak, kendaraan yang dipergunakan dan jumlah atau volume angkut pada saat ini).
Dalam hal penanganan UPPKB atau jembatan timbang, menurut Direktur Prasarana Ditjenhubdat Risal Wasal (2019), ada lima konsep peningkatan prasarana UPPKB.
Pertama lebih transparan (penggantian kaca yang lebih lebar dan tembus pandang; pengurangan sekat ruangan; cash less).
Kedua lebih bersih dan rapi (pengecatan interior dan eksterior; perbaikan toilet; pemasangan pagar depan UPPKB).
Ketiga lebih terang benderang (pemasangan lampu highmast; penerangan jalan umum; lampu sorot), keempat lebih informatif (pemasangan RPPJ, rambu lalu lintas, pemasangan papan nama UPPKB dan sign post; pemasangan horn speaker; pemasangan display hasil timbangan).
Kelima lebih selamat dan aman (pengadaan alat pemadam kebakaran dan penangkal petir; perbaikan instalasi listrik; warning light; pemasangan CCTV).
UPPKB dengan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dapat terletak pada kawasan industri, sentra produksi, pelabuhan, jalan tol, dan lokasi strategis lainnya (Pasal 6 ayat 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 134 Tahun 201 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan).
Sekarang ini, UPPKB baru berada di jalan nasional, jalan tol dan pelabuhan. Sementara di sentra produksi dan kawasan industri belum dilakukan.
Alangkah baiknya, jika Menteri Perindustrian menyegerakan keberadaan Unit Pelaksanaan Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) di sentra produksi dan kawasan industri, ketimbang meminta pelambatan kebijakan bebas ODOL.
Mengutip Buku Potret Keselamatan Lalu Lintas di Indonesia Edisi 3 Desember 2019, faktor rem tidak berfungsi menjadi faktor penyebab kejadian kecelakaan lalu lintas jalan tertinggi.
Sebanyak 35,76 persen kejadian kecelakaan diawali oleh kondisi rem kendaraan bermotor yang tidak berfungsi.
Faktor penyebab kedua adalah lampu tidak berfungsi yang berkontribusi terhadap 14,35 persen kecelakaan dan faktor penyebab ketiga adalah kerusakan roda yang berkontribusi terhadap 8,79 persen kejadian kecelakaan.
Faktor rem tidak berfungsi diduga terbesar disebabkan mobil barang. Muatan lebih (over loading) salah satu penyebabnya, selain kurang mahir atau cakap ketika mengemudi.
Sementara menurut data PT Jasa Marga (Persero) Tbk tahun 2019, kejadian kecelakaan tabrak belakang (melibatkan kendaraan angkutan barang)sebesar 26,88 persen.
Persentase kelebihan muatan yang terbanyak dengan angka 21-50 persen dari persyaratan dalam ketentuan mengenai Jumlah Berat yang Diijinkan (JBI).
Pada 2019, dengan komposisi rata-rata Non Golongan I sebesar 14,0 persen berdampak pada kecelakaan sebanyak 48,02 persen (melibatkan kendaraan angkutan barang) di ruas tol milik Jasa Marga.
Persentase kendaraan ODOL di ruas jalan tol ini adalah sebesar 37,87 persen. Jenis pelanggaran selama operasi penertiban pelanggaran kelebihan muatan (overload) sebesar 37,87 persen, over dimension 2,45 persen, ketidaklengkapan dokumen 3,59 persen dan yang tidak melanggar 55,91 persen.
Komoditi mayoritas overload adalah muatan sembako 23 persen, air/minuman 17 persen, bahan bangunan (batu bata, hebel, batu, kayu) 10 persen, dan besi/baja/ alumunium 9 persen.
Adapun data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menyebutkan kecelakaan tabrak belakang (melibatkan kendaraan angkutan barang) di jalan tol mengalami penurunan.
Tahun 2014 (36,63 persen), tahun 2015 (35,85 persen), tahun 2016 (33,12 persen), tahun 2017 (29,89 persen), dan tahun 2018 (30,50 persen).
Meskipun berdasarkan data UPPKB Ditjen Perhubungan Darat selama Februari 2019 pelanggaran semakin berkurang, namun masih didominasi over loading sebanyak 90 persen, pelanggaran administrasi 9 persen dan pelanggaran over dimension 1 persen.
Agar kendaraan tidak over dimension, saat uji kir perlu pengetatan sesuai aturan. Agar tidak over loading, saat penimbangan di UPPKB tidak perlu toleransi kelebihan. Jika ketahuan ODOL di jalan, Polantas berwenang menindak tanpa kompromi.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan sinergi pengawasan antar institusi untuk menuntaskan ODOL.
Penyelenggaraan UPPKB oleh Ditjenhubdat, uji kir oleh Dishub di Pemda, Polisi Lalu Lintas mengawasi aktivitas di jalan raya, Hakim memutuskan ganjaran hukuman tertinggi, supaya ada efek jera untuk tidak mengulang.
Selain itu, revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk sanksi denda dan kurungan bagi pelanggar kendaraan ODOL perlu ditingkatkan.
Pemilik barang dapat dikenakan sanksi, bukan pengemudi yang selalu menjadi tumpuan kesalahan.
https://properti.kompas.com/read/2020/02/24/070000821/indonesia-darurat-odol