Namun, pada praktiknya muncul fenomena perjanjian pinjam nama (nominee agreement) dalam kepemilikan tanah antara WNA sebagai Beneficiery terhadap WNI sebagai Nominee.
“Akhirnya, nominee (WNI) menjadi pihak yang tercatat dalam Sertifikat Hak Milik (SHM),” terang Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia I Gusti Agung Sumanatha pada diskusi publik, Jakarta, Selasa, (18/2/2020).
I Gusti menjelaskan, nominee tercatat secara hukum atau sebagai legal owner yang hanya dapat bertindak terbatas sesuai dengan perjanjian atau perintah dari beneficiery.
Sedangkan, beneficiery menjadi pihak yang tak tercatat secara hukum sebagai pemilik tanah namun menikmati setiap keuntungan dan manfaat dari tindakan yang dilakukan nominee.
Selain itu, beneficiery juga memiliki kuasa penuh untuk memerintah pihak nominee.
Konsep nominee kemudian melahirkan dua jenis kepemilikan tanah, yakni pemilik yang tercatat dan diakui secara hukum (legal owner) dan pemilik yang sebenarnya (beneficiery) menikmati setiap keuntungan serta kerugian yang timbul dari benda yang ia miliki atas perbuatan legal owner.
Secara hukum, nominee atau legal owner menjadi pemegang hak yang sah atas benda yang dimiliki oleh beneficiery.
Sehingga, pihak nominee atau legal owner memiliki hak dalam mengalihkan, menjual, membenani, menjaminkan, serta melakukan tindakan apa saja atas benda yang dimiliki oleh beneficiery.
“Pihak beneficiery jadi tak diakui sebagai pemilik atas benda (tanah dan bangunan) secara hukum,” ucap I Gusti.
Untuk itu, Mahkamah Agung RI secara tegas tak mengakui perjanjian pinjam nama (nominee agreement) dalam kepemilikan tanah.
Alasannya, hal tersebut merupakan bentuk penyelundupan hukum (wetsontduiking/fraus legis) dan juga ingin melindungi kepentingan warga negara Indonesia dan kepentingan ekonomi Indonesia pada umumnya.
https://properti.kompas.com/read/2020/02/18/195049521/ma-tak-akui-praktik-pinjam-nama-wna-atas-kepemilikan-tanah