Pada 2019 saja, tingkat hunian ritel di Jakarta kurang dari 80 persen. Setelah terus merosot dari sebelumnya berkisar antara 85 persen dan 83 persen. Penuruanan terbesar terjadi pada kuartal II dan III.
Selain penutupan gerai-gerai ritel, Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto menuturkan, penyebab turunnya okupansi pusat perbelanjaan ini karena beberapa pengelola melakukan perbaikan atau renovasi.
Hal ini membuat para penyewa untuk sementara atau secara permanen tidak beroperasi. Meski demikian, selama kuartal IV-2019, beberapa peritel kembali membuka tokonya dengan konsep baru.
Namun, upaya ini masih belum bisa menaikkan okupansi ruang ritel yang mencatatkan angka 79,8 persen pada akhir tahun atau turun 3,8 persen dengan harga sewa rata-rata Rp 608.923 per meter persegi.
"Pasar ritel, kalau kita lihat ada beberapa outlet yang tutup, pada 2020 kemungkinan masih akan terjadi," kata Ferry di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Kendati masih akan terjadi penutupan beberapa toko, namun pada tahun ini, toko-toko daring yang beroperasi diperkirakan akan membuka outlet fisikbya.
Terus Bertambah
Tentu saja, penetrasi toko daring tersebut mendorong beberapa pengembang tergoda untuk membangun pusat perbelanjaan baru.
Alhasil, luasan ruang ritel atau pusat perbelanjaan pun terus bertambah.
Di Jakarta, sepanjang 2019 terdapat tambahan ruang ritel seluas 90.000 meter persegi. Pasokan ruang ritel ini diperoleh dari beroperasinya dua pusat perbelanjaan.
Dengan adanya tambahan ini, total pasokan ruang ritel menjadi 4,74 juta meter persegi, atau tumbuh 1,9 persen secara tahunan (year on year).
Dari total luasan tersebut, sebanyak 70 persen di antaranya dipasarkan untuk disewakan atau mal. Meski begitu, permintaan akan ruang ritel mengalami penurunan menjadi 75.199 meter persegi.
Data Colliers menyebutkan, pada tahun ini, jumlah luasan ruang ritel diperkirakan bertambah 110.000 meter persegi. Jumlah ini diperoleh dari beroperasinya empat pusat perbelanjaan baru.
Ferry mengatakan, tren tersebut terjadi mengingat kebiasaan konsumsi manusia yang masih bisa dirangsang lewat keberadaan toko fisik.
Tetapi, gerai-gerai itu hanya bertujuan untuk memenuhi rasa penasaran konsumen dan bukan ditujukan sebagai tempat berjualan yang utama.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah penyangga Jakarta seperi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Ferry menyebut, tingkat hunian di wilayah tersebut tercatat turun, khususnya selama kuartal II, III, dan IV.
Penurunan terjadi karena beroperasinya beberapa mal yang menawarkan harga sewa lebih tinggi.
Pada akhir 2019, okupansi pusat perbelanjaan di Bodetabek tercatat sebesar 78,6 persen atau turun 3,9 persen secara tahunan.
Sebagai informasi tambahan, selama 2019, kawasan Bodetabek mendapatkan pasokan tambahan ruang ritel seluas 150.000 meter persegi dari beroperasinya tiga pusat perbelanjaan baru.
Dengan jumlah ini, maka total pasokan kumulatif yang ada di empat kota tersebut mencapai 2,73 juta meter persegi atau tumbuh 6 persen, dengan porsi ruang yang disewakan sebanyak 70 persen.
Ferry memprediksi, pada tahun 2020, pasokan kumulatif ruang ritel akan tumbuh sebesar 8 persen.
Penambahan luasan ini terjadi karena mulai beroperasinya empat buah pusat perbelanjaan baru yang memberikan kontribusi tambahan ruang sebesar 220.000 meter persegi.
Alhasil, tingkat persaingan dan membeludaknya tambahan pasokan baru diprediksi akan menyebabkan tingkat okupansi pusat perbelanjaan menurun.
https://properti.kompas.com/read/2020/01/10/225811621/penutupan-toko-ritel-diprediksi-masih-berlanjut-tahun-ini