Kehadiran ojek daring atau ojek online (ojol) adalah bukti pemanfaatan peluang bisnis yang dilakukan oleh pemodal. Bagaimana dengan masyarakat pengguna? Menurut saya, sama dengan pemerintah, kurang diuntungkan dari kondisi ini.
Ojol sudah merambah dengan cepat ke seluruh pelosok Nusantara. Kehadirannya di perkotaan, terutama di Jakarta, bagaikan dua sisi mata uang.
Di satu sisi memberikan kemudahan publik mendapatkan transportasi cepat sampai tujuan. Namun, di lain hal menimbulkan banyak persoalan, seperti parkir di sembarang tempat (termasuk di atas trotoar), menerobos palang pintu pelintasan KA, pegang telepon genggam di atas motor berjalan, beroperasi di atas trotoar, ditegur aparat hukum jika melanggar cenderung melawan dan bertindak kasar.
Hingga sekarang angka pasti jumlah pengemudi ojol hanya Tuhan dan aplikator yang tahu. Pemerintah pun tidak tahu berapa jumlah pastinya. Bagaimana pemerintah mau mengatur, membina, dan mengawasi jika jumlah angka pasti saja tidak diketahui hingga sekarang.
"Pemerintah cenderung mendukung karena dianggap dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi warganya."
Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan di lima kota (Jabodetabek, Bandung, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta) 4-7 Mei 2019 menyebutkan, hanya 18 persen pekerjaan mengemudi ojol ini menyerap pengangguran.
Sementara wirausaha yang menjadi pengemudi ojol justru yang terbanyak yakni 44 persen, BUMN/swasta 31 persen, pelajar/mahasiswa 6 persen, dan ibu rumah tangga 1 persen.
Jadi, kurang benar jika selama ini ada anggapan bahwa bisnis ojol itu mengurangi pengangguran. Yang pasti adalah beralih profesi menjadi pengemudi ojol karena tawaran penghasilan yang memikat saat itu.
Namun, akhirnya sekarang terjerat dan untuk kembali ke pekerjaan semula mengalami kesulitan. Kecuali sudah memiliki keahlian khusus, seperti pertukangan, petani dapat kembali ke profesi semula. Bagi pekerja kantoran, sulit kembali bekerja di kantor sebelumnya.
Sebagaimana ditunjukkan hasil survei yang sama, yakni pekerjaan utama sebagai pengemudi ojol sebanyak 84,4 persen, pekerja BUMN/Swasta 6,5 persen, ibu rumah tangga 6,1 persen, pelajar/mahasiswa 6,5 persen, ASN 1,7 persen, wiraswasta 01 persen, dan lain-lain 1,1 persen.
Dari survei itu pula didapat bahwa para pengemudi mengendari motor sendiri sebanyak 91 persen, sewa 5 persen, dan milik orang lain 4 persen.
Adapun jam operasional dalam sehari, terbesar kisaran 10-12 jam (31,94 persen), 7-9 jam (23,29 persen), 12-14 jam (18,51 persen), lebih dari 15 jam (12,47 persen), 4-6 jam (11,75 persen), dan 1-3 jam (2,04 persen).
Sementara jumlah pesanan atau order dalam sehari terbanyak 5-10 kali (40,22 persen). Kemudian berikutnya 11-15 kali (30,86 persen), 16-20 kali (16,05 persen), kurang dari 5 kali (6,83 persen), dan 21-25 kali (4,27 persen).
Mengangkut penumpang
Apa yang bisa kita kritisi dari fenomena dan hasil survei tadi? Bahwa sepeda motor dapat digunakan mengangkut barang dibenarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Aturan batas barang bawaan untuk sepeda motor (pasal 10 ayat 4), meliputi muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi, tinggi muatan tidak melebihi 900 milimeter dari atas tempat duduk pengemudi, barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi, dan mengutamakan faktor keselamatan.
Sementara sepeda motor untuk mengangkut penumpang seyogianya dibatasi karena sepeda motor rentan mengalami kecelakaan. Hal ini merujuk data Korlantas Polri yang menyatakan, lebih dari 70 persen angka dan korban kecelakaan berasal dari sepeda motor.
Nah, bagaimana dengan para pengemudi ojol yang mengangkut penumpang? Untuk melindungi pengemudi dan pengguna ojol, Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Di beberapa kota mancanegara juga beroperasi ojek motor. Ada aturan pasti, tidak semua jenis sepeda motor dapat digunakan sebagai ojek. Namun, tidak sebanyak di Indonesia, layanan transportasi umum yang sangat bagus sudah dirasakan warganya.
Warga dengan mudah dan murah sudah mendapat layanan transportasi umum tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dan pertumbuhan industri sepeda motor tidak seperti di Indonesia yang mudah dan murah untuk diperoleh.
Kota-kota di China, misalnya. Warganya menggunakan sepeda listrik dan membatasi gerak sepeda motor. Di Jepang yang produksi sepeda motornya banyak di Indonesia, warganya enggan menggunakan sepeda motor. Mereka lebih menyukai transportasi umum.
Lain halnya di Indonesia, hanya Kota Jakarta yang baru menata transportasi umum. Sementara kota-kota lain cenderung mematikan operasional transportasi umum.
Sesungguhnya upaya pemerintah untuk menata transportasi umum sudah ada, yakni dalam RPJM Nasional 2015-2019 dan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perhubungan 2015-2019, yakni pengembangan bus rapid transit (BRT) di 34 kota besar beserta fasilitas pendukungnya.
Namun, hal tersebut baru berupa tulisan, belum perwujudan hingga akhir 2019. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (2014-2019) telah gagal menyediakan transportasi umum yang diminati warga. Hanya berhasil membagi sejumlah armada bus ke daerah.
Baru pada 2020, Kementerian Perhubungan berencana menyelenggarakan program pembelian layanan (buy the service) di lima kota, yakni Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Denpasar.
Hingga kini belum ada regulasi yang mengatur keberadaan ojol ini. Operasional ojol tidak ada yang mengawasi dan mengaudit sistem aplikasinya. Kementerian Komunikasi dan Informatika yang seharusnya melakukan ini.
Demikian halnya dengan hubungan kemitraan yang tepat bagi pengemudi ojol dengan pihak aplikator belum diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Usulan sepeda motor sebagai alat transportasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bisa saja dilakukan. Tidak hanya itu, becak, andong, dokar, becak kayuh, becak bermotor, becak listrik juga dapat dikategorikan transportasi umum sehingga bisa turut diusulkan.
Hanya, yang harus dibatasi adalah mobilitasnya. Di perkotaan, sepeda motor komersial angkut penumpang seharusnya beroperasi di kawasan tertentu, seperti lingkungan perumahan.
Contohnya di Kabupaten Probolinggo, sepeda motor digunakan untuk mengantar pelajar ke sekolah dan mendapat binaan dari Dinas Perhubungan setempat.
Di Kota Agats, Kabupaten Asmat, sepeda listrik digunakan sebagai ojek penumpang. Demikian pula di beberapa daerah di Indonesia yang warganya terpencar di daerah pegunungan, sementara kemampuan mengadakan transportasi umum masih banyak kendala, keberadaan ojek sepeda motor masih diperlukan.
Sedngkan sepeda motor sebagai angkutan barang sudah diatur dan sekarang juga sudah berkembang dengan aplilkasinya. Sangat membantu warga yang ingin mendapatkan makanan dengan mudah.
Kesimpulannya, pemerintah wajib menyelenggarakan transportasi umum sesuai amanah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Munculnya ojek motor menandakan kelalaian pemerintah menyediakan transportasi umum yang layak guna bagi masyarakat.
Percepat penataan transportasi umum, batasi mobilitas ojol, supaya dapat menekan angka kecelakaan sepeda motor. Atur ulang industri sepeda motor. Dengan sendirinya, ojol berkurang, beralih menggunakan transportasi umum.
https://properti.kompas.com/read/2019/11/04/090836421/pertumbuhan-ojol-kegagalan-pemerintah-menyediakan-transportasi-umum