Hal ini menyusul kinerja sejumlah sub sektor yang mengalami tekanan, untuk tidak dikatakan stagnan.
Terutama perkantoran di area CBD Jakarta yang diserbu melimpahnya pasokan baru hingga 561.000 meter persegi hingga akhir tahun.
Sementara di sisi permintaan, tak juga mengalami peningkatan yakni hanya 174.000 meter persegi terserap sepanjang 2019. Bandingkan dengan tingkat serapan 2017-2018 yang mencapai 429.000 meter persegi.
Meskipun perusahaan-perusahaan berbasis teknologi dan informasi, perdagangan daring, serta pengelola ruang kerja bersama (co-working space) demikian ekspansif, namun tidak serta-merta mengatrol jumlah permintaan secara kumulatif.
Akibatnya, segmen rental atau sewa pun tertekan dan terus turun 1 persen menjadi rata-rata Rp 270.971 per meter persegi per bulan.
Berkaca pada kinerja perkantoran tersebut, tak keliru jika Head of Advisory JLL Vivin Harsanto mengatakan bisnis properti tahun depan belum akan pulih.
"Kami prediksi pemulihan baru terjadi pada 2021 mendatang, saat pasokan perkantoran berada di angka 200.000 meter persegi. Ini akan terjadi keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Tahun 2020 pasokan masih banyak ya sekitar 300.000 meter persegi," tutur Vivin menjawab Kompas.com, Rabu (16/10/2019).
Demikian halnya dengan sub sektor hunian, utamanya apartemen, yang terus melemah sejak 2016 hingga kuartal III-2019.
Bahkan, pada kuartal III-2019, tingkat penjualan apartemen hanya 64 persen dari total 159.000 unit pasokan. Atau terburuk sejak 2012.
Padahal, pemerintah telah menerapkan relaksasi terkait kebijakan fiskal, terutama pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM) dan pelonggaran rasio loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia untuk kredit pembiayaan properti sebesar 5 persen.
Sayangnya kebijakan-kebijakan baru itu pun tak kunjung mampu mendongkrak bisnis properti siuman dari pingsan panjangnya.
Insentif apalagi yang harus disuntikkan untuk sektor ini agar bangkit dari perlambatan yang sudah berlangsung hampir lima tahun?
Menurut Vivin, pemerintah harus mulai fokus pada sisi demand dari konsumen. Bahwa LTV direlaksasi memang sangat diharapkan masyarakat, terutama kelas menengah.
"Namun, yang lebih penting lagi adalah penurunan suku bunga cicilan. Rasio LTV yang rendah hanya akan membebani masyarakat dalam bentuk besarnya cicilan per bulan jika suku bunga tidak turun," imbuh dia.
Aktivitas pengembang
Masih vakumnya sebagian pengembang, lanjut Vivin, ikut memengaruhi perlambatan sektor properti menjadi lebih panjang.
Walaupun sejumlah pengembang lainnya sudah mulai aktif, namun belum benar-benar menunjukkan peningkatan signifikan.
"Proyek baru yang diluncurkan hanya satu yakni yang berada di Jakarta Selatan. Itu pun hanya 300 unit," kata Vivin.
Meski demikian, dia melihat para pengembang swasta lokal, asing, dan BUMN tetap aktif mempersiapkan produk-produk mereka seraya menunggu momentum yang tepat untuk diluncurkan.
Realisasi investasi lokal dan asing juga diharapkan kembali meningkat usai perhelatan Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019.
"Selain itu, pemindahan ibu kota diharapkan juga menjadi penyemangat bagi para pengembang untuk melihat peluang-peluang yang menjanjikan," kata Country Head JLL Indonesia James Allan.
https://properti.kompas.com/read/2019/10/16/193847821/tahun-depan-bisnis-properti-masih-tertekan