"Karena tidak ada yang namanya ganti rugi, melainkan ganti untung," ungkap Jokowi pada saat itu.
Namun, benarkah demikian?
Salah seorang warga bernama Agus, mengungkapkan, dirinya dan 48 warga di daerah Sukoharjo, Jawa Tengah, merasa dirugikan dengan proses ganti rugi pembebasan lahan untuk proyek jalan.
Disebutkan, bahwa warga menghendaki harga tanah Rp 600.000 per meter persegi. Namun, tim appraisal yang ditunjuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya menghargai tanah tersebut Rp 250.000 per meter peregi atau jauh dari harga pasar.
"Itu untuk proyek peningkatan ruas jalan daerah Sukoharjo. Sekarang yang terkena dampak itu 433 bidang dari panjang 5,2 kilometer," ungkap Agus dalam acara Hot Room di Metro TV, Selasa (20/8/2019).
Rendahnya penawaran dari pemerintah lantaran appraisal menggunakan harga 'jalur mati' untuk menentukan harga ganti rugi lahan.
"Sedangkan jalan yang dilewati di kampung saya, itu jalan hidup. Ada tulisannya ke Kabupaten Karanganyar, ke Kabupaten Wonogiri," sebut Agus.
Namun, ia mengaku, ada kendala dalam menghadapi persoalan ini. Dalam putusan tingkat pertama, majelis hakim menolak mengabulkan gugatan karena tidak adanya data pembanding dari appraisal lain yang menyatakan bahwa harga tanah di wilayah tersebut Rp 600.000 per meter persegi.
"Kita kemarin sudah tembusi empat kantor appraisal, tapi mereka tidak mau jadi pembanding di pengadilan negeri. Selidik punya selidik, mereka punya kode etik tidak tertulis, ketika ada proyek pemerintah itu appraisal lain tidak boleh jadi pembanding," jelas Brestiaga.
Kasus lain menimpa warga Pontianak bernama Martha. Akibat pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, lahan parkir ruko dan hotel miliknya terkena imbasnya.
Alhasil, saat ini ruko dan hotelnya tidak dapat beroperasi dengan maksimal dan menimbulkan kerugian secara finansial. Hingga kini, Martha mengaku belum mendapatkan ganti rugi.
"Ibu ini merasa keberatan, karena waktu pelebaran jalan dulunya satu jalur kemudian jadi dua jalur, kena bagian ruko dan hotelnya. Kurang lebih 30 meter persegi," ungkap kuasa hukum Martha, Andel.
Andel mengaku, sudah dua kali bertemu dengan satuan kerja yang bertugas menangani proyek tersebut pada November tahun lalu.
Kendati tak mendapatkan jawaban yang tegas, kenyataannya, ia mengklaim, proyek pelebaran jalan itu tetap dilaksanakan.
"Saya tanya beliau, bolehkah pemerintah lakukan pekerjaan di atas tanah yang belum ada persetujuan. Makanya langkah hukum kami sudah lakukan, pertama kita adukan gugatan perdata. Ini masih dipertimbangkan," gugat Andel.
Namun, bila ada masyarakat yang keberatan maka berhak mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pengadilan sendiri berhak memutus harga ganti rugi lebih tinggi dibandingkan yang ditentukan appraisal, sepanjang pemohon bisa menunjukkan data pembanding yang berasal dari appraisal lain.
"(Nilainya memang) final, tapi kan ada satu keputusan di pengadilan tadi nilainya harus dinaikkan. Pengadilan berhak menguji," kata dia.
Sementara itu, menyikapi kasus yang terjadi di Entikong, Arie menyebut, bahwa pihaknya telah melakukan pertemuan sebanyak sepuluh kali dengan Martha maupun pihak yang dikuasakan.
Namun, karena sampai pertemuan terakhir tidak ada kesepakatan harga, langkah berikutnya yang ditempuh yaitu melalui jalur pengadilan.
"Karena tidak ada kesepakatan harga, BPN akan memvalidasi kepada PUPR (pihak yang membutuhkan lahan) untuk dilakukan konsinyasi," tuntas dia.
https://properti.kompas.com/read/2019/08/21/110847621/jokowi-klaim-ganti-untung-lahan-infrastruktur-ternyata-ini-faktanya