Asisten Deputi Perumahan, Pertanahan, dan Pembiayaan Infrastruktur Kemenko Perekonomian Bastary Pandji Indra mengungkapkan hal tersebut dalam sebuah diskusi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Rabu (14/8/2019).
Menurut dia, saat ini angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog masih cukup tinggi, yaitu mencapai 7,6 juta.
Pemerintah tidak bisa memenuhi seluruh anggaran yang dibutuhkan untuk mengatasi backlog tersebut.
Dengan demikian, dibutuhkan kerja sama sektor swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU/PPP) untuk mewujudkannya.
Sementara di lain pihak, regulasi yang mengatur penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih sangat rumit.
Oleh karena itu, diperlukan penyederhanaan regulasi agar proses penyediaan rumah terjangkau dapat berjalan cepat.
"Kita wajib menyederhanakan skema PPP, siapa yang bertanggung jawab? Tadi dikatakan belum terbentuk HDB, lembaga ini perlu dibentuk untuk menyederhanakan aturan sehingga PPP bisa efektif dan efisien," desak Bastary.
Ia menambahkan, penyediaan rumah sosial atau rumah terjangkau bagi MBR bukanlah program menarik bagi pengembang.
Mereka cenderung memilih menyediakan hunian yang terjangkau kalangan masyarakat kelas menengah ke atas dibandingkan MBR.
Karena itu, melalui lembaga tersebut, diharapkan dapat terbentuk regulasi dan kerja sama yang bisa saling menguntungkan, bagi pengembang, masyarakat dan juga pemerintah.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Wilayah Perkotaan, Perumahan dan Pemukiman Bappenas Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, pembentukan lembaga yang bertugas dalam penyediaan perumahan masyarakat diperlukan agar target penyelesaian backlog perumahan dapat segera terealisasi.
"Sebenarnya kita sudah punya modal seperti tabungan perumahan rakyat (Tapera), sehinga ini bisa menjadi modal awal untuk kelembagaan yang lebih terintegrasi bagi rumah yang affordable," cetus Virgi.
https://properti.kompas.com/read/2019/08/14/220000321/indonesia-perlu-hdb-seperti-singapura