JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang saat ini masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan dapat memperkuat koordinasi antarsektor. Terutama, dalam hal pemanfaatan sumber daya hutan.
Guru Besar Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Ahmad Maryudi menjelaskan, pembahasan RUU Pertanahan tidak bisa terlepas dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
Salah satu kerangka regulasi yang diatur dalam beleid ini yaitu pemisahan penguasaan lahan oleh negara dan privat atau hak milik.
Menurut Ahmad, semangat awal dari UUPA adalah untuk mengatur semua pengelolaan sumberdaya alam berbasis lahan, termasuk hutan dan sektor kehutanan.
"Namun ini ini dikerdilkan oleh berbagai undang-undang sektoral, termasuk UU Pokok Kehutanan Nomor 5/1967, yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru," tulis Ahmad seperti dilansir dari Sebijak.fkt.ugm.ac.id, Selasa (13/8/2019).
UU Kehutanan sedianya mengatur bahwa kawasan yang telah ditunjuk menjadi hutan negara, tidak lagi masuk subyek UU PA, tetapi berada di bawah yurisdiksi dan kontrol Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Tetapi, UU tersebut justru juga sekaligus menjadi tonggak konflik sosial," sebut Ahmad.
Padahal, di kawasan yang ditunjuk sebagai hutan (termasuk di kawasan konservasi) telah ada beragam penggunaan, seperti tambang, pemukiman transmigrasi.
"Hal ini mendorong otoritas kehutanan untuk melaksanakan program Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang mengukuhkan KLHK sebagai 'tuan tanah', dengan ditunjuknya lebih dari dua-pertiga lahan di Tanah Air sebagai kawasan hutan (saat itu 143 juta hektar) tanpa melihat realitas di lapangan," tutur Ahmad.
Dia menyebut, penolakan terhadap TGHK masih terjadi sampai sekarang. Peta versi KLHK masih tetap dijadikan rujukan utama alokasi dan penggunaan kawasan hutan, tanpa memperhatikan dinamika di lapangan.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerbitkan SK Nomor 45/PUU-IX/ 2011 yang mengabulkan permohonan penghapusan frasa 'ditunjuk dan atau' dalam Pasal 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1967.
Dengan begitu, berdasarkan putusan tersebut, pasal itu berbunyi "kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap".
Implikasinya adalah penentuan kawasan hutan tidak sekadar melalui penunjukkan, seperti yang dilakukan KLHK via TGHK, tetapi juga harus melalui seluruh rangkaian proses pengukuhan, termasuk konsultasi antar sektor.
"Keputusan MK Nomor 45 Tahun 2011 sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menyelesaikan permasalahan konflik sektoral. (Tapi) yang terjadi justru KLHK sangat agresif melakukan penetapan semu," terangnya.
Menurut Statistik KLHK tahun 2013, kawasan hutan yang telah ditetapkan kurang dari 12 persen. Dalam tempo yang sangat singkat, hampir semua kawasan telah ditetapkan.
"Sebuah capaian yang 'menakjubkan'," ujarnya.
Faktanya, ungkap Ahmad, saat ini banyak kawasan hutan yang sudah tidak lagi bervegetasi cukup yang mencerminkan kondisi ideal hutan. Bahkan, cukup banyak kawasan hutan yang secara de facto sudah dipergunakan peruntukan lain.
Baru-baru ini, kata dia, Kehati Foundation meluncurkan buku berjudul 'Hutan Kita Bersawit' yang menyebutkan tidak kurang 3 juta hektar kawasan hutan telah bertransformasi menjadi kebun sawit.
"RUU Pertanahan ini justru harus diperkuat dengan semangat koordinasi antar sektor. RUU ini harus dijadikan pintu masuk alternatif, setelah kesempatan dari Keputusan MK Nomor 45 Tahun 2011 terlewatkan," imbuh Ahmad.
https://properti.kompas.com/read/2019/08/13/105657621/ruu-pertanahan-diharapkan-perkuat-koordinasi-sektor-kehutanan