Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika "Trade Center" Dianggap Tak Lagi Menarik (IV)

Terlebih dalam kondisi seperti saat ini, zaman teknologi digital, ekonomi disrupsi, dan kekuatan media sosial, yang mengubah seluruh pranata dan konstruksi bisnis ritel.

Direktur Independen PT Ciputra Development Tbk Tulus Santoso mengatakan, untuk saat ini membangun lease mall merupakan pilihan tepat ketimbang trade center.

Namun begitu, untuk membangun lease mall diperlukan tanah dengan lokasi sangat strategis supaya bisa "bernafas panjang", dan berkelanjutan.

"Tapi kalau lahannya tidak strategis, mungkin trade center menjadi opsi selanjutnya," kata Tulus menjawab Kompas.com, Jumat (5/7/2019).

Dia mengingatkan, trade center  juga berpotensi sulit dikelola karena tidak sepenuhnya dapat dikontrol atau dikendalikan pengembang setelah kios-kiosnya terjual.

"Karena itu, dari dulu kami tidak masuk bisnis trade center," cetus dia.

Hal senada dikatakan Chairman Gapuraprima Group Rudy Margono. Menurut dia, zaman sudah berubah, semua serba digital.

"Kami yang ada saja dikonversi menjadi sewa," ungkap Rudy.

Gapuraprima Group diketahui mengembangkan dua trade center, masing-masing Bandung Trade Center dan Bekasi Trade Center.

Head of Operating Properties Nirvana Wastu Pratama (NWP) Retail Teges Prita Soraya menimpali, kepemilikan trade center adalah perorangan karena bersifat strata title.

"Jika tidak terjual, dana investasi kita lenyap atau menguap begitu saja," cetus Teges.

Sebaliknya, kendati lease mall membutuhkan 'nafas panjang' alias dana yang tidak sedikit, namun aset ini akan menjadi profit center perusahaan dalam bentuk recurring income.

Sementara trade center akan lepas begitu saja, dan menjadi aset perorangan atau pembeli.

Memang pada awal membangun, kata Teges, NWP Retail harus menginvestasikan dana hingga ratusan miliar rupiah. Karena konstruksi fisik harus sesuai dengan konsep yang ditawarkan kepada peritel atau tenant.

"Tapi bisnis pusat belanja sewa di Indonesia sangat menjanjikan. Terlebih bonus demografi dan kelas menengah yang meningkat pendapatan serta kemampuan belinya," ucap Teges.

Oleh karena itu, NWP Retail tidak akan pernah membangun trade center. Sebaliknya, pihaknya akan secara agresif mengembangkan lease mall dengan konsep spesifik, original, dan berbeda dari yang sudah ada.

CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono mengamini pendapat Teges. Menurut dia, untuk saat ini, membangun lease mall menjadi opsi terbaik. 

Apalagi di kota-kota yang memang belum terdapat lease mall, namun produk domestik brutonya lumayan tinggi, seperti kota tier kedua dan ketiga macam Pontianak, Lahat, Prabumulih, Pangkalan Bun, Ambon, dan Kupang.

"Terutama untuk area kuliner yang dilengkapi dengan event-event atraktif," ucap Hendra.

NWP Retail sendiri saat ini tengah membangun The Park Sawangan di Depok dengan tarif sewa serentang Rp 200.000-Rp 400.000 per meter persegi per bulan dan service charge Rp 140.000 per meter persegi per bulan.

Dengan penyewa utama atau anchor tenat Lulu Group International dengan Lulu Hypermarket-nya, Teges menjawab yakin dengan recurring income yang sudah terpampang di depan mata.

Betapa tidak, Lulu Group International telah memberikan konfirmasi selama 10 tahun dengan luas area 5.000 meter persegi dalam perjanjian kontrak sewa.

Lebih ribet

Selain masalah fulus, lokasi strategis, dan status kepemilikan, hal tak kalah penting adalah mengenai pengelolaan.

Direktur Marketing BTC City Andy Chandra mengatakan, mengelola sebuah trade center lebih ribet dan membuat pusing dibanding pusat belanja sewa.

"Ini karena kios-kiosnya sudah jadi aset pemilik. Jadi susah untuk diatur seragam. Sementara pusat belanja sewa lebih gampang diatur karena kios masih aset pengembang," tambah Andy.

Dia melanjutkan, terkait fenomena semakin anjloknya pamor trade center, yang harus dilakukan pengelola adalah mengubah konsep pusat belanja menjadi community meeting mall.

Namun begitu, Andy tak menampik, perubahan konsep pun akan sangat sulit dilakukan pada trade center karena pemiliknya terlalu banyak sebagai konsekuensi dari konsep kepemilikan strata title.

"As simple as that," sambung Andy.

Berbeda kondisinya saat trade center tengah jaya-jayanya pada rentang waktu 1990-an hingga awal 2005.

Saat itu, kisah Andy, menjual ribuan kios pada sebuah trade center demikian mudah. Pengalaman serupa juga dikemukakan Rudy yang mengaku tidak kesulitan menjual trade center. 

Tetapi kini, semua harus berubah, atau menjadi fosil beton tak berpenghuni.

Jalan Keluar

Untuk menyiasati sepinya pengunjung, dan menghindari jatuhnya harga kios trade center, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alexander Stefanus Ridwan, mengatakan pengelola harus melakukan langkah-langkah inovatif.

"Karena inovasi adalah salah satu syarat agar bisa bertahan di industri ritel," ujar Stefanus.

Hal inilah yang menjadi Hendra. Menurut dia, pengembang, pengelola, yang juga pemilik sebagian kios di trade center, harus melakukan pendekatan ke para pemilik kios.

"Dengan lokasi-lokasinya yang sebagian strategis, harusnya mereka mampu meng-upgrade konsep, gedung secara fisik, dan manajemennya," kata Hendra.

Selain itu, pengelola juga bisa menempuh cara buy back atau co-develop. Semacam pengembangan en bloc seperti di Singapura untuk apartemen-apartemen tua di lokasi strategis.

Jika opsi buy back atau co develop merupakan pilihan terakhir, maka pengembang dan pengelola harus kreatif dan mampu menciptakan event-event meriah yang mampu menarik minat pengunjung.

"Trade center kan tempat jualan barang-barang fast moving low cost fashion dan low cost handphone. Jadi para pedagang mengharapkan fast moving sales juga. Mereka mengharapkan high volume karena marjinnya tipis," tutur Hendra. 

 

https://properti.kompas.com/read/2019/07/05/150000721/ketika-trade-center-dianggap-tak-lagi-menarik-iv

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke