Dia berpendapat, para kepala daerah seharusnya bisa mengeluarkan kebijakan pengurangan pajak dalam dua kondisi, yaitu subyektif dan obyektif.
"Subyektif itu wajib pajak yang tidak mampu membayar, misalnya guru, buruh, pensiunan, dan veteran. Kalau kondisi obyektif, misalnya obyek pajak mengalami bencana alam dan gagal panen," ucap Yustinus kepada Kompas.com, Rabu (24/4/2019).
Khusus untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yustinus mengharapkan agar mempertahankan kebijakan yang dibuat untuk melindungi wajib pajak pribadi yang memiliki penghasilan menengah ke bawah.
Hal itu bisa dilakukan asal sesuai dengan peraturan yang berlaku dan hasil fiscal cadaster, yaitu pemetaan dan pendataan potensi pajak yang lebih komprehensif.
Terkait revisi terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan PBB bagi Rumah dan Rusun dengan NJOP sampai dengan Rp 1 miliar, Yustinus mengatakan bahwa ini bisa menjadi kesempatan bagi pemerintah daerah lain untuk mengatur ulang obyek pajak di wilayah masing-masing.
"Gubernur dan kepala daerah lainnya bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki sasaran pemajakan," imbuhnya.
Sasaran pemajakan yang dimaksud antara lain lahan kosong agar lebih produktif dan kawasan komersial.
Para pemimpin kepala daerah lainnya juga harus memperhatikan kemungkinan pembebasan PBB untuk lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial.
"Lembaga yang bertujuan sosial dan membantu masyarakat perlu diperhatikan supaya mereka bisa survive dalam mendukung program pemerintah," kata dia.
Yustinus menambahkan, penilaian obyek secara profesional juga perlu dilakukan agar bisa diperoleh nilai jual obyek pajak (NJOP) yang menunjukkan keadilan dan kepastian.
https://properti.kompas.com/read/2019/04/25/103000121/pengamat-menilai-kebijakan-pengurangan-pajak-di-daerah-tidak-konsisten