Menurut catatan MRT Jakarta, rata-rata jumlah penumpang pada hari kerja sebanyak 60.000 sampai 70.000 orang per hari.
Kamaluddin merinci lebih jauh, pada akhir pekan dan hari libur nasional, jumlah penumpang melonjak, bisa mencapai 100.000 orang per hari.
Kemudian, jumlah penumpang paling banyak terjadi pada Sabtu (30/4/2019), yaitu 160.000 penumpang.
Setelah itu catatan penumpang pada Jumat (29/3/2019) sebanyak 130.000 orang dan pada Kamis (28/3/2019) lebih dari 99.000 penumpang.
“Tanggal 30 Maret itu paling tinggi sejak beroperasi resmi, rekornya 160.000 penumpang. Lalu tanggal 29 Maret ada 130.000 penumpang,” ujar Kamaluddin kepada Kompas.com, Minggu (7/4/2019).
Memasuki bulan April, lanjutnya, secara berturut-turut sebanyak 51.000 penumpang pada Senin (1/4/2019), 90.000 penumpang pada Selasa (2/4/2019), dan 116.000 penumpang pada Rabu (3/4/2019).
Berikutnya, sebanyak 77.000 penumpang pada Kamis (4/4/2019), 86.000 penumpang pada Jumat (5/4/2019), dan 80.000 penumpang pada Sabtu (6/4/2019).
“Rabu (3/4/2019) lalu itu tinggi sekali, ada 116.000 penumpang,” imbuh Kamaluddin.
Kendati jumlah penumpang melebihi target yang ditetapkan, namun menurut Ketua Institut Transportasi (Instran) Darmaningtyas, pencapaian tersebut tidak mengindikasikan pengurangan jumlah kendaraan roda empat di jalan-jalan ibu kota.
Sebab, rute MRT yang ada baru menjangkau sebagian kecil wilayah Ibu Kota, yaitu dari selatan ke pusat, belum sampai ke wilayah barat, timur, dan utara.
“Jalur MRT ini baru sepenggal, kalau sampai Jakarta Kota baru penuh. Belum bisa mendorong kepindahan dari kendaraan pribadi secara masif,” ucap Darmaningtyas kepada Kompas.com, Minggu (7/4/2019).
Dia memberi contoh di tempat parkir Stasiun Lebak Bulus yang masih didominasi kendaraan roda dua atau motor.
Namun, Darmaningtyas mengaku tidak mengetahui apakah orang yang memarkir sepeda motor itu memang sehari-harinya mengendarai motor atau orang yang berpindah dari mobil ke motor supaya lebih praktis ke stasiun.
Selain itu, Dia juga menyoroti bahwa jalur MRT tersebut kurang tepat sasaran tidak antisipatif terhadap perkembangan Jakarta. Hal ini karena perencanaan jalur MRT telah dilakukan sejak tahun 1985.
Rencana tersebut dirintis oleh Bacharuddin Jusuf Habibie yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ketika itu diperkirakan kegiatan bisnis dan perekonomian, misalnya perkantoran dan pusat perbelanjaan, akan berpusat di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, dan sekitarnya.
Namun, saat ini daerah tersebut sudah dipadati berbagai bangunan bertingkat sehingga perkembangan gedung perkantoran bergeser ke sepanjang Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
“Pola pergerakan sudah berubah. Dulu gedung-gedung di Sudirman, sekarang indah ke Simatupang sehingga demand tidak sebesar waktu direncanakan,” paparnya.
Darmaningtyas pun menyarankan pengelola MRT agar memperhatikan perkembangan masing-masing wilayah Jakarta dalam menentukan jalur pembangunan transportasi massal ke depannya sehingga tepat sasaran.
https://properti.kompas.com/read/2019/04/07/192745721/setelah-bertarif-mrt-jakarta-diisi-60000-70000-penumpang-per-hari