Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Program Rumah Bersubsidi

Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan supaya program rumah bersubsidi ini berjalan lancar?

Awalnya, program rumah bersubsidi melalui skema KPR FLPP ditujukan bagi MBR berpendapatan maksimal Rp 4 juta untuk mengakses rumah sejahtera tapak, dan Rp 7 juta untuk rumah sejahtera susun (rusun).

Skema ini amat menawan mengingat uang mukanya hanya satu persen dengan suku bunga cicilan tetap (fixed) lima persen sampai tenor 20 tahun. Adapun, plafon KPR yang ditetapkan sekitar Rp 25 juta hingga Rp 350 juta.

Kemudian pemerintah memperluas penerima KPR itu kepada ASN dan TNI Polri dengan mengubah pendapatan dari Rp 4 juta menjadi Rp 8 juta per bulan.

Angka Rp 8 juta disesuaikan dengan gaji ASN golongan III. Tipe rumah pun diperluas menjadi di atas tipe 36 meter persegi.

Apa alasannya? Ada dua alasan utama. Pertama, masyarakat berpendapatan Rp 8 juta per bulan itu tidak bisa mengajukan KPR FLPP karena tak memenuhi syarat.

Kedua, mereka belum mampu untuk mengajukan KPR demi mengakses rumah kelas menengah.

Padahal, jumlah ASN, anggota TNI dan Polri saat ini, cukup banyak. Catatan terakhir, terdapat 945.000 ASN, 275.000 anggota TNI dan 360.000 anggota Polri.

Di sisi lain, sektor properti mulai kembali bergairah pasca penurunan akibat pelemahan nilai tukar Rupiah, krisis finansial global, dan juga penurunan daya beli.

Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) pada Maret 2019 menunjukkan kredit properti tumbuh 16,57 persen dari Rp 795,56 triliun per Januari 2018 menjadi Rp 927,35 triliun per Januari 2019.

Total kredit properti Rp 927,35 triliun tersebut meliputi kredit konstruksi, real estate dan KPR, serta kredit pemilikan apartemen (KPA).

Rinciannya sebagai berikut, kredit konstruksi tumbuh tertinggi 24,69 persen dari Rp 245,48 triliun menjadi Rp 306,08 triliun (dengan kontribusi 33,01 persen dari total kredit properti).

KPR dan KPA menyusul dengan pertumbuhan 13,53 persen dari Rp 411,54 triliun menjadi Rp 467,24 triliun.

Walapun pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan kredit konstruksi, tetapi KPR dan KPA berkontribusi paling tinggi 50,38 persen.

Posisi terakhir ditempati kredit real estate yang tumbuh 11,18 persen dari Rp 138,54 triliun menjadi Rp 154,03 triliun (kontribusi 16,61 persen). Ringkas tutur, data tersebut menyiratkan rapor agak biru sektor properti.

Ragam pertimbangan

Lagi-lagi, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan?

Pertama, ternyata KPR FLPP juga menyasar generasi milenial. Hal ini sudah dirintis PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN dengan produk KPR Gaesss sejak Oktober 2018.

Sepanjang Januari-Februari 2019, BTN telah mencatatkan transaksi penyaluran KPR milenial 3.997 unit dengan nilai transaksi Rp 1,3 triliun.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga gencar menyasar milenial melalui produk Angsuran Terencana sejak 2017 (Koran Kontan, 25 Maret 2019).

Tentu saja, generasi milenial menjadi target pasar yang empuk untuk digarap lebih lanjut oleh bank penyalur KPR FLPP.


Mengapa? Karena saat ini Indonesia memiliki sekitar 85 juta orang milenial. Sungguh, jumlah itu merupakan peluang bisnis yang terbuka lebar.

Kedua, perluasan penerima KPR FLPP itu jangan-jangan membuat MBR berpendapatan Rp 4 juta per bulan akan "tersisih" oleh MBR berpendapatan Rp 8 juta per bulan.

Hal ini dimungkinkan, karena praktik lazim bank umum akan lebih mempertimbangkan calon nasabah KPR dengan pendapatan yang lebih tinggi.

Logikanya, bank umum pasti akan menjaga kualitas kredit dengan memperbaiki rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).

Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat NPL bank umum membaik dari 2,59 persen per Desember 2017 menjadi 2,37 persen per Desember 2018. Rasio itu masih jauh di bawah ambang batas 5 persen.

Sementara itu, NPL untuk Pemilikan Rumah Tinggal (KPR) menipis dari 2,53 persen menjadi 2,31 persen.

Demikian pula NPL untuk Pemilikan Flat atau Apartemen (KPA) menipis dari 2,13 persen menjadi 1,83 persen. Ini kabar yang menyejukkan.

Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu mengingatkan bank umum yang menyalurkan KPR FLPP untuk jangan menomorduakan nasabah dengan pendapatan yang lebih rendah.

Dengan demikian, target program KPR FLPP dapat segera tercapai.

Ketiga, BI juga dituntut untuk menjaga suku bunga acuan (BI 7 day reverse repo rate/BI 7 DRRR) pada level yang mampu mendorong pertumbuhan sektor riil.

Minimal, BI mampu mempertahankan BI 7 DRRR pada level enam persen. Hal itu dapat dimungkinkan karena suku bunga acuan Amerika Serikat (The Fed Fund Rate/FFR) diprediksi tidak sesangar sebelumnya.

Artinya, FFR diprediksi akan tertahan pada level 2,25 persen hingga 2,50 persen.

Buahnya, KPR di luar FLPP juga akan berkembang lebih subur. Ingat bahwa kebangkitan sektor properti akan mampu menggairahkan minimal 170 industri ikutan lainnya.

Ambil contoh: semen, pasir, genteng, keramik, batu kali, batu bata, kayu (kusen, pintu, mebel), baja ringan, besi, paku, cat dan listrik.

Keempat, akan lebih menawan jika perumahan dibangun berbasis transit oriented development (TOD).

Dengan bahasa lebih bening, pembangunan perumahan yang terintegrasi dengan transportasi seperti jalur rel kereta api dan kereta ringan (light rail transit/LRT) dan moda raya terpadu (mass rapid transit/MRT).

Kelima, pemerintah wajib mempertimbangkan skema pembiayaan pembangunan perumahan bersubsidi itu.

Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan alokasi dana dalam APBN sehingga lebih menjamin ketersediaan dana. Ujungnya, target kesenjangan pasokan rumah (backlog) 5,4 juta rumah pada 2019 bakal tercapai.

Keenam, pada 29 Maret 2019, telah terpilih Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) yang mengatur, mengawasi dan melakukan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan peserta.

BP Tapera dituntut untuk segera melaksanakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

dengan begitu, bukan hanya pekerja formal tetapi pekerja informal sebagai peserta Tapera juga dapat menikmati program KPR FLPP.

Ketujuh, secara keseluruhan bergairahnya sektor properti juga akan membantu menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,34 persen per Agustus 2018. 

Dengan ragam pertimbangan demikian, program KPR FLPP dapat berjalan mulus dengan potensi risiko kredit bermasalah lebih rendah.

https://properti.kompas.com/read/2019/04/01/200000421/tantangan-program-rumah-bersubsidi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke