Pemerintah pun diharapkan dapat menyederhanakan regulasi yang ada.
Menurut Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto, salah satu regulasi yang cukup mengganggu yakni Sistem Verifikasi Legalisasi Kayu (SVLK).
"Itu seharusnya hanya boleh di hulu saja. Tapi di hilir, sebagai masyarakat furnitur, no need anymore SVLK," kata Soenoto di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Saat ini nilai ekspor produk furnitur dan kerajinan Indonesia telah mencapai 2,5 miliar dollar AS atau setara Rp 35,73 triliun.
Dari jumlah tersebut sekitar 1,69 miliar dollar AS atau sekitar Rp 24,15 triliun di antaranya disumbangkan oleh sektor mebel.
Soenoto menilai, Indonesia memiliki potensi yang besar pada bisnis ini. Sebab, banyak bahan baku yang tidak ada di luar negeri, bisa ditemukan di Indonesia antara lain pelepah pisang, rotan, dan enceng gondok.
Bahan-bahan tersebut dinilai memiliki cukup kemampuan untuk diolah menjadi furnitur. Persoalan yang muncul justru pada keanekaragaman desain yang bisa dikembangkan.
Sementara, ketika pengusaha lokal mencoba memperkaya desain yang dimiliki, justru dipersulit dengan kebijakan di bea cukai.
"Sekarang di bea cukai, ada karantina, misalnya. Coba, ada sampel dari Jepang suruh masuk karantina. Padahal di Jepang tidak ada hutan," ungkap Soenoto.
"Ini regulasi sudah kolesterol, sangat berjibun. Sehingga jalannya juga angel (sulit)," imbuh dia.
Ia pun mengingatkan pemerintah agar menyederhanakan regulasi yang sudah ada. Kalaupun ingin membuat regulasi, setidaknya tidak menyulitkan para pengusaha.
https://properti.kompas.com/read/2019/03/11/200748621/svlk-ganggu-bisnis-furnitur-pemerintah-diminta-sederhanakan-regulasi