Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menyebut, potensi kerugian yang dialami penghuni ada pada besarnya penetapan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL), tarif listrik, hingga air.
Sementara potensi kerugian negara yang terjadi, salah satunya terletak pada sistem distribusi air.
Teguh menjelaskan, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum disebutkan, hanya swasta yang diberikan izin oleh pemerintah kabupaten yang berhak melakukan pengelolaan air.
Itu pun dengan catatan tidak ada BUMN atau BUMD yang bertindak sebagai penyedia air baku masyarakat di wilayah tersebut.
"Swasta itu hanya dibolehkan menyediakan air baku dan distribus. Sementara untuk pengelolaan, yang artinya penarikan uang, hanya boleh dilakukan BUMN, BUMD atau swasta yang ditunjuk," terang Teguh kepada Kompas.com, Jumat (1/3/2019).
Dia menambahkan, kalaupun ada pengembang yang bisa menyediakan air baku, maka kewajiban mereka menjual air tersebut ke BUMD atau BUMN.
Kemudian, barulah mereka yang mengelola dan menjualnya kembali kepada penghuni apartemen.
Namun, dalam beberapa persoalan yang dilaporkan ke Ombudsman Jakarta Raya, ada penghuni yang mengeluhkan tingginya tarif air.
Laporan tersebut tak hanya masuk dari wilayah DKI saja, tetapi juga sejumlah wilayah penyangga lainnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Setelah diusut, ternyata air yang didistribusikan ke warga dibeli oleh pengelola apartemen dari PDAM, lalu dijual kembali dengan harga selangit.
"Mereka (pengelola) ambil airnya (dari PDAM) Rp 3.700, mereka menjualnya kembali seharga Rp 9.700," ungkap Teguh.
Sementara tarif untuk rumah susun sewa sederhana (Grup II kode 5FP) berkisar antara Rp 1.050 untuk 0-10 meter kubik hingga Rp 7.450 untuk 20 meter kubik.
Adapun untuk single apartment (Grup III A kode 5F2) tarifnya berkisar antara Rp 3.550 untuk penggunaan 0-10 meter kubik hingga Rp 5.500 untuk 20 meter kubik.
Sedangkan untuk medium apartment (Grup III B kode 5F3) tarifnya berkisar antara Rp 4.900 untuk penggunaan 0-10 meter kubik hingga Rp 7.450 untuk 20 meter kubik.
Kelompok terakhir yakni above middle class apartment (Grup IV A kode 5FA) dipatok Rp 6.825 untuk penggunaan 0-10 meter kubik hingga Rp 9.800 untuk penggunaan 20 meter kubik.
Sementara untuk hihg rise building/apartemen/kondominium yang masuk Grup IV B dengan kode 3S dibanderol Rp 12.550 baik untuk penggunaan 0-20 meter kubik.
Potensi kerugian lain negara, sebut Teguh, terlihat dari banyaknya jumlah pelanggan. Ketika PDAM menjual air baku kepada pengelola apartemen, hanya ada satu laporan pelanggan apartemen.
Padahal, di dalam satu tower rusun jumlah unit yang dihuni dapat mencapai ribuan.
Kebocoran
"Anda bisa bayangkan ini di rumah susun? Berapa kerugian PDAM dengan ini ketika mereka tidak menjual langsung. Meterannya harusnya ada 8.000 meteran, misalnya. 8.000 abodemen dipakai atau tidak pakai harus bayar. Di situ aja sudah ada potensi kehilangan," cetus Teguh.
Ketua Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum ( BPPSPAM) Bambang Sudiatmo mengatakan tingkat kehilangan air pada Perusahaan Daerah Air Minum ( PDAM) di seluruh Indonesia rata-rata sebesar 33,16 persen.
Angka ini masih harus ditekan karena belum memenuhi target yang ditentukan, yaitu kurang dari 20 persen.
“Tingkat kehilangan air rata-rata nasional di PDAM adalah 33,16 persen. Angka ini masih tinggi dibandingkan dengan target nasional kurang dari 20 persen,” ujar Bambang kepada Kompas.com, Jumat (1/2/2019).
Berdasarkan data BPPSPAM, tingkat kehilangan air dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan. Pada 2015, PDAM kehilangan air sebesar 32,47 persen.
Kemudian, peningkatan kehilangan air juga terjadi pada 2017 sebanyak 32,80 persen.
Bambang menjelaskan, ada dua penyebab terjadinya kehilangan air dalam SPAM, yaitu kehilangan fisik akibat adanya jaringan pipa yang bocor dan kehilangan komersial akibat tidak akuratnya pengukuran meter air pada pelanggan.
https://properti.kompas.com/read/2019/03/01/233000921/menilik-potensi-kerugian-negara-dalam-pengelolaan-apartemen